Minggu, 13 Juli 2008

PERKEMBANGAN TAFSIR ABAD KONTEMPORER INDONESIA (Studi Kritis Atas Tafsir Maudhu'iy Quraish Shihab)

Oleh: Rohman Saleh
I. PENDAHULUAN

Permasalahan kehidupan di abad modern berbeda jauh dari apa yang dialami oleh generasi terdahulu. Perbedaan tersebut terasa sekali di tengah masyarakat, seperti mobilitas yang tinggi, perubahan situasi yang sangat cepat, dan lain-lain. Realitas kehidupan yang demikian membuat masyarakat, baik individu maupun berkeluarga, bahkan berbangsa dan bernegara menjadi seakan tidak memiliki waktu luang untuk membaca kitab-kitab tafsir yang dianggap berat seperti; Al Kasysyaf karangan Zamakhsyari, Ath Thabari, Jalalain, Durrat al Tanzil wa Ghurrat al Ta’wil, Al Burhan fi Taujih Mutasyabah Al Qur’an dan masih banyak lagi. Untuk menanggulangi permasalahan semacam itulah kemudian para mufassir Al Qr’an dengan metode baru yang disebut dengan metode tematik (maudhu’i).

Dengan lahirnya metode ini, mereka yang menginginkan petunjuk Al-Qur’an dalam suatu masalah tidak perlu menghabiskan waktunya untuk membaca kitab-kitab tafsir yang beser seperti tersebut di atas tetapi cukup dengan membaca tafsir tematik tersebut selama permasalahan yang ingin mereka pecahkan dapat dijumpai dalam tafsir tematik ini.

II. PEMBAHASAN

Sketsa Biografi Yang Mendasari Pemikiran Quraish Shihab.

Quraish Shihab yang bernama lengkap Muhammad Quraish Shihab dilahirkan di Rappang, Sulawesi Selatan pada 16 Februari 1944. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang dia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang dengan nyantri di Pondok Pesantren Darul Hadis Al- Faqihiyah. Pada tahun 1958 dia berangkat ke Kairo, Mesir. Di sana dia diterima di kelas II Tsanawiyah Al Azhar. Pada tahun 1967 dia meraih gelar Lc yang setara dengan S-1 di Indonesia pada Fakiltas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama dan pada tahun 1969 dia meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Qur’an dengan tesis yang berjudul Al-I’jaz Al-Tasyri’iy li Al-Qur’an Al Karim. Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish dipercaya untuk menjabat sebagai Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alaudin, Ujung Pandang. Selain itu ada beberapa jabatan lain yang diamanahkan atasnya, baik di dalam kampus maupun d luar kampus. Seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta wilayah VII Indonesia Bagian Timur dalam lingkup ruang pendidikan dalam kampus maupun sebagai Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam wilayah bimbingan bidang pembinaan mental. Selam tinggal di Ujung Pandang dia juga sempat melakukan berbagai riset; antara lain riset dengan tema ‘ Penerapan Kerukunan Hidup Beragama Di Indonesia Timur"( 1975) dan masalah " Masalah Wakaf Sulawesi Selatan".

Pada tahun 1980 Quraish Shibah kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya terdahulu yakni Al azhar. pada 1982 dia berhasil meraih gelar doktoralnya dengan spesialisasi pada ilmu-ilmu al Qur’an melalu tesis yang berjudul Nadzm al Dhurar li Al- Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma’a martabat al syaraf al ‘ula). Setelah kembali ke Indonesia pada 1984, Quraish ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Selain itu, di luar kampus dia dipercayakan untuk memangku beberapa jabatan. Antara lain; Ketua Majelis Ulama Indonesia( MUI) Pusat sejak 1984; Anggota Pentashih Al Qur’an Departemen agama sejak 1989; Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional sejak 1989 dan Kerua Lembaga Pengembangan. Selain itu dia juga banyak terlibat dalam breberapa organisasi professional, seperti; Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari’ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Sedangkan beberapa karyanya dalam dunia tulis menulis antara lain tulisannya di surat kabar "Pelita" pada rubrik "Pelita Hati" yang di publikasikan setiap hari Rabu. Selain itu dia juga mengasuh rubric Tafsir Al Amanah dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama. Dia juga aktif dalam menyunting beberapa buku dan jurnal-jurnal ilmiah.

Hingga kini beberapa bukunya yang sudah diterbitkan antara lain Tafsir Al- Manar, Keitimewaan dan Kelemehannya (Ujung Pandang, IAIN Alaudin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta, Departemen Agama, 1987); Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988); Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan( Bandung, Mizan, 1994), Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung, Mizan, 1992), Wawasan Al Qur’an (Bandung, Mizan. 1996) hingga karyanya terbarunya yang paling monumental yakni Tafsir Al Mishbah.

1. Kerangka Berfikir

Sebelum masuk pada kerangka berfikir Quraish Shihab maka saya rasa perlu untuk memaparkan sedikit paradigma pemikiran yang mewarnai ranah tafsir di dunia Islam. Pengetahuan tasawwur (konsepsi) hanya merupakan suatu bentuk dari beberapa gagasan sederhana yang di dalamnya belum terdapat penilaian. Sebab itulah belum terdapat nilai benar atau salah. Dan siapapun tidak diperkenankan untuk merasa puas hanya dengan pengetahuan konsepsi akan tetapi ia harus melangkah untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin, yakni pengetahuan-pengetahuan tashdiqi agar proses penilaian dapat dilakukan dalam setiap gagasan. Coba telusuri konsep hermeneutic Gadamer yang membuat klasifikasi pengetahuan menjadi dua bagian. Dua bagian itu adalah pengetahuan pra pemahaman dan pemahaman.

Dalam menganalisis tentang suatu masalah, seseorang pasti mempunyai gambaran tentang persoalan terkait. Adapun untuk dapat mengetahui persoalan secara menyeluruh serta memahami persoalan, seseorang harus melalui beberapa proses dalam pengolahan pemahaman. Dalam kancah perdebatan filosofis, ketika para pemikir mencoba merumuskan jawaban atas hal pokok mengenai konsepsi manusia, terbentuklah tiga hal pokok berdasarkan doktrinnya masing-masing. Adapun tiga hal pokok yang akrab disebut dengan kerangka berfikir atau madzhab berpikir tersebut adalah; pertama madzhab metafisika Islam dengan mengusung doktrin aqliyahnya, kedua, madzhab empirisme dengan doktrin empiriknya dan yang ketiga adalah madzhab skriptualisme dengan menyuguhkan doktrin tekstualnya.

Jika kita berkaca pada landasan itu maka Quraish Shihab termasuk dalam wilayah ketiga yakni skriptualisme. Secara tidak langsung kerangka berfikirnya adalah skriptualisme dalam arti dia mengusung doktrin tekstual al-Qur’an. Namun dari sisi kancah pergumulannya di dunia tafsir, dia termasuk mufassir yang memiliki paradigma berfikir tekstual-kontekstual dan bisa dikatakan kelompok tradisionalis yang moderat. Kenapa demikian? Karena dia berpijak pada manuscript al-Qur’an murni sebelum dikontektualisasikan dengan realitas social. Jadi dia meletakkan teks al-Qur’an sebagai referensi utama sebelum dia melihat makna teks untuk dikomparasikan dengan disiplin ilmu lain, antara lain; ilmu-ilmu social kemasyarakatan maupun ilmu politik dan ilmu hukum. Dari situlah kemudian tersaji berbagai penafsiran yang tersaji secara apik dalam tafsir maudhu’i-nya yang membahas tentang tema-tema social kemasyarakatan yang berguna untuk menjawab pelbagai persoalan umat di samping karya besarnya yang cukup monumental. Karya itu kita kenal dengan tafsir al- Mishbah yang terdiri dari beberapa jilid dan mengupas penafsiran ayat demi ayat secara terperinci.

Namun lepas dari semua uaraian di atas, saya memiliki pendapat sendiri bahwa sosok Quraish Shihab lebih condong pada kerangka berfikir yang bersifat eksploratif-deskriptif-analitis-komparatif. Yaitu model pemikiran yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang pernah dilakukan ulama tafsir terdahulu berdasarkan literature tafsir baik yang primer yakni ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan maupun ulama lainnya. Dari data yang diperoleh kemudian dideskripsikan secara lengkap serta dianalisis memakai pendekatan kategorisasi dan perbandingan.

2. Metode Penafsiran

Secara umum ada bermacam-macam metode dan corak penafsiran al Qur’an. Dr. Abd al- Hay al-Farmawi membagi metode-metode yang dikenal selama ini menjadi empat, yaitu: analisis, komparatif, global dan tematik (penetapan topik). Kemudian dilanjutkan dengan ungkapan Al Farmawi yang mengetengahkan beberapa langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir yang mengambil konsentrasi maudhu’i(tematik). Adapun beberapa langkah tersebut adalah:

§ Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan judul terkait sesuai dengan kronologi urutan turunnya. Hal tersebut diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya ayat yang mansukh.
§ Menelusuri asbab al nuzul dari ayat-ayat yang telah dihimpun.
§ Meneliti dengan cermat semua kata dan kosakata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut. Kemudian mengkaji dari beberapa aspek yang berkaitan dengan tema ayat seperti bahasa, budaya, sejarah, munasabat, pemakaian dhamir dan sebagainya.
§ Mengkaji pemahaman ayat yang berasal dari beberapa aliran pendapat para mufassir baik yang klasik maupun kontemporer.
§ Pengkajian ssemua yang sudah terangkai di atas dilakukan dengan seksama dan menggunakan penalaran objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabarserta didukung oleh fakta dan argument yang berasal dari Al Qur’an, hadis atau fakta-fakta sejarah yang dapat ditemukan.
Kemudian pembahasan kembali kita arahkan pada kajian tentang metode penafsiran Quraish Shihab. Dari beberapa buku dan karya tulis lainnya yang pernah beredar di masyarakat luas dapat diketahui dengan jelas sesuai dengan aneka ciri yang secara implisit dapat kita cerna bahwa metode penafsiran yang digunakan oleh Quraish Shihab adalah metode maudhu’i atau yang kadang di sebut sebagai metode tematik yaitu dengan penetapan tema dalam penafsirannya kemudian dia mencari beberapa ayat yang memiliki keterkaitan dengan tema yang akan dibahas dan disajikan. Kadang terlihat jelas pula jika bentuk penafsiran Quraish Shihab cenderung ke arah bentuk pemikiran (al-ra’y). Kenapa saya menyebutnya demikian? Karena ketika menafsirkan Al-Quran dia cenderung melakukan tinjauan secara sosiologis, antropologis, historis, maupun sains seperti dalam tafsir al- Manar dan tafsir al- Jawahir.

Untuk lebih memberikan pemahaman kepada pembaca, maka penulis akan mencoba menyajikan contoh penafsiran Quraish Shihab. Karena pembahasan ini dibatasi pada terma metode penafsiran, maka contoh tafsir ke depan akan saya adopsi satu pembahasan dari salah satu karya Quraish Shihab yang booming dan kita kenal dengan Wawasan Al- Qur’an. Karya tersebut memang memiliki spesifikasi pada pembahasan beberapa tema pokok yang berkisar pada persoalan ummat dengan metode maudhu’iy. Adapun tema yang akan kita sajikan kali ini adalah penafsiran tentang Agama. Dalam peta analisis tentang agama ini, Quraish terlebih dahulu menyodorkan sebuah tanya kepada kita tentang relevansi agama pada kehidupan masa kini setelah melihat paradigma yang terjadi di kalangan ilmuwan. Para ilmuwan saat ini cenderung untuk menjauhkan diri dari agama setelah mendapati penemuan-penemuan mereka dianggap bertentangan dengan kitab suci. Kadang ketika kita berfikir secara rasional, maka kita akan mendapatkan jawaban yang mungkin bisa mewakili dinamika yang terjadi pada para ilmuwan tersebut. Bisa saja hal itu disebabkan karena mereka terjebak dalam wilayah nihilisme yang menganggap segala sesuatu adalah benar, sehingga memunculkan antitesis yang menyebutkan bahwa tidak ada kebenaran mutlak di dunia. Hal ini merupakan salah satu cerminan yang terpancar ketika kita melihat sosok Quraish dalam menafsirkan Al Qur’an. Kemudian disusul lagi dengan pertanyaan, "Apakah manusia dapat melepaskan diri dari dari agama?" Lalu dilanjutkan dengan penyajian terma yang terwakili dengan firman Tuhan yang berbunyi: "Fitrah Allah yang menciptakan manusia atas fitrah".

Lalu secara sistematis Quraish mengurai satu demi satu fakta yang dapat melunakkan pemahaman kita yang masih terlalu dangkal tentang agama. Agama adalah kebutuhan hidup dan oleh karena itu kita tidak bisa melepaskan diri dari agama. Tidak ada alternatif lain yang dapat menggantikan agama. Memang jika ditelisik, manusia terdiri dari akal, jiwa dan jasmani. Tidak semua persoalan dapat diselesaikan oleh akal. Akal ibarat kemampuan yang berenang. Akal berguna saat berenang di sungai atau di laut yang tenang. Akan tetapi jika terjadi gelombang membahana, maka yang pandai berenang maupun tidak bisa berenang sama-sama membutuhkan pelampung. Ketika itulah agama berperan.

Kemudian Quraish mulai menyajikan pokok-pokok pikiran yang memiliki relasi dengan agama, antara lain tentang topik ide dasar perdamaian, kerukunan dan demokrasi serta aplikasi agama Islam dalam kehidupan modern.

3. Kontribusi dalam kancah ilmu pengetahuan

Berbicara tentang kontribusi yang diberikan oleh penafsiran Quraish Shihab, tentulah banyak sekali. Penafsiran ini dapat membuka wacana baru bagi masyarakat awam bahwa memahami al Qur’an adalah sebuah hal yang sangat penting dan harus dilakukan oleh seluruh umat Islam dalam hubungannya dengan pengaplikasian pada kehidupan sehari-hari. Walaupun tema yang disajikan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan tema yang berbeda tersebut.

Apapun bentuk kepurnaan dalam sebuah karya seorang mufassir, namun apa yang ditempuh oleh Quraish Shihab tersebut belumlah menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al Qur’an dapat terpaparkan dalam bentuk yang menyeluruh karena satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat.

III. KESIMPULAN

Pada dasarnya tafsir akan terus berkembang seiring dengan arus laju zaman. Begitupun dengan ranah yang mewarnai dunia penafsiran, akan selalu lahir interpretasi-interpretasi yang dikemas dalam multidimensi. Yang benar saat ini belum tentu akan benar dimasa yang akan datang. Kemudian jika kita jeli dalam mencermati perkembangan tafsir kontemporer, kita akan dapat menemukan isu sentral yang menjadi fokus kajian para mufassir kontemporer. Antara lain dalah ungkapan filologi al Qur’an, tentang al Qur’an yang dikontekstualisasikan dengan sejarah alam maupun al Quran yang dikaitkan dengan permasalahan sehari-hari umat Islam di seluruh belahan dunia.


DAFTAR PUSTAKA

Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al Qur’an, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, Cet: II, 2000.
Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, Bandung: Mizan, Cet. XXIX, 2006.
------------------, Wawasan Al Quran, Bandung: Mizan, Cet. XIII, 2003.
Hasil ketetapan konggres HMI XXV di Makassar, NDP,
Kumpulan Beberapa Penulis, Metode Tafsir Kontekstual, Yogjakarta: Tiara Wacana.
Abd-al Hay al Farmawi, Al Bidayah fi al Tafsiri al Maudhu’i, Kairo: Al Hadharah al ‘Arabiyah, 1977, Cet. II.
-----------------,, Al Bidayah fi al Tafsir al Maudhu’I, Mathba’at al Hadharat al ‘Arabiyah, 1977.

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (Upaya Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Dalam Bingkai Ke-Islaman)

Oleh : Rohman Saleh
I. PENDAHULUAN

Pada dasarnya semua agama mengajarkan tentang universalitas dalam setiap inti ajarannya guna mempertemukan semua keyakinan seluruh umat manusia. Adapun nilai dari universalitas itu sendiri haruslah didasarkan pada kondisi yang nyata, ruang maupun waktu agar memiliki efektifitas sebagai dasar etika sosial. Salah satu prasayarat bagi terwujudnya masyarakat madani adalah tercermin dengan penerimaan dan pengakuan dari segenap masyarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus untuk menerima kenyataan kemajemukan tersebut sebagai satu hal yang bernilai positif. Kenapa di sini disinggung permasalahan masyarakat madani yang berujung pada konsep pluralisme dalam agama? Hal tersebut dikarenakan pembahasan dalam kerukunan umat beragama tentu menyinggung beberapa agama, lebih-lebih dalam bangsa Indonesia yang notabenenya adalah Negara Pancasila yang didalamnya terdapat berbagai macam agama, antara lain; Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghuchu, aliran kepercayaan dan mungkin masih ada agama yang belum disebutkan.

Salah satu prasyarat bagi terwujudnya masyarakat modern yang demokratis dan bersatu adalah dengan terwujunya masyarakat yang menghargai kemajemukan masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya menjadi sebuah keniscayaan.

Dalam The Oxford English Dictionary disebutkan bahwa keragaman (pluralism) adalah keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural yang dalam suatu masyarakat atau negara serta keragaman maupun sikap suatu badan serta kelembagaan dan sebagainya. Diskursus tentang keberagaman sendiri tampaknya telah menjadi tema yang cukup penting dan banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendekiawan muslim decade 80-an. Dilihat dari sisi manapun transformasi budaya masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, hukum, kehidupan agama dan sebagainya harus tetap berjalan, namun juga harus diakui bahwa merupakan usaha yang tidak mudah untuk mengubah pola hidup, tradisi dan kebiasaan masyarakat. Tidak semudah membalikkan telapak tangan yang dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap. Banyak persoalan yang harus dikritisi dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat dalam bidang keagamaan maupun partisipasi kritis masyarakat dalam menyikapi kebijakan negara.

Berbicara mengenai keragaman juga tidak dapat dipisahkan dari kemajemukan budaya, politik, agama dan sebagainya. Menurut hemat penulis, agar tidak terjadi kerancuan pembahasan dalam uraian ke depan, maka perlu dipertegas beberapa terma yang akan kita kupas dalam kaitannya dengan kerukunan umat beregama sebagai upaya dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam bingkai ke-Islam-an. Antara lain mengenai; pluralisme agama, ikhtiar manusia dalam mewujudkan kerukunan dalam kehidupan keberagamaan, keadilan Tuhan dalam menganugerahkan fitrah kepada umat manusia dalam kaitannya dengan kehidupan beragama, titik temu dari semua agama serta beberapa penyajian ayat yang terkait dengan pluralisme keagamaan.

II. PEMBAHASAN

Pada dasarnya semua umat manusia yang ada di bumi adalah saudara. Al Qur’an merangkum sebanyak 52 ayat yang berkaitan dengan persaudaraan. Setiap orang yang menelaah al Qur’an dan merenungi ayat-ayatnya akan menemukan bahwa secara afirmatif al Qur’an menjelaskan keesaan Allah dan pluralitas selain Dia. Salah satu dari beberapa pokok persoalan yang mendominasi wacana kaum Muslim adalah syari’ah. Padahal jika kita menelisik lebih jauh lagi, pengertian yang dalam dan meluas yang biasanya bersifat abstrak selalu rawan dengan distorsi dan pengaburan baik karena proses penyempitan atau perluasan yang tidak proporsional.

1. Definisi Agama

Tidak mudah mendefinisikan agama. Apalagi di dunia ini kita menemukan kenyataan bahwa agama amat beragam. Pandangan seseorang terhadap agama ditentukan oleh pemahamannya terhadap ajaran agama itu sendiri. Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉ kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama.

Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.

2. Pluralisme Agama

Al Qur’an telah mencapai puncaknya ketika menegaskan sikap penerimaan terhadap agama-agama selain Islam untuk hidup berdampingan. Baik Yahudi, Kristen dan agama lainnya diakui eksistensinya oleh Islam. Ini satu-satunya yang tidak berada pada agama lain. Sikap seperti ini ada pada Islam karena dua alasan; yang pertama, alasan sejarah dan yang kedua adalah alasan objektif. Alasan sejarah dikembalikan kepada sejarah lahirnya tiga agama: Yahudi, Kristen dan Islam. Sesungguhnya sikap Islam terhadap pluralitas agama berdiri di atas prinsip kesejajaran, toleransi dan saling melengkapi. Inilah yang paling baik karena sesungguhnya pluralitas agama lebih baik daripada satu agama karena satu agama tidak akan bisa merespon dinamika kemanusiaan. Adapun alasan objektif bagi penegasan Islam akan pluralitas agama adalah kembali kepada cara pandang Islam terhadap Tuhan sebagai Pencipta alam raya dengan segala isinya.

Semua agama dipengaruhi dan mempengaruhi kondisi masyarakatnya. Al Quran tidak pernah menganggap pluralitas agama sebagai problem sensitif karena semuanya adalah ciptaan Allah. Berangkat dari kesadaran inilah maka salah dan benar tidak dapat menjadi bingkai bagi agama-agama. Setiap agama mewakili berbagai kebutuhan manusia. Perbedaan masing-masing terjadi karena adanya perbedaan kebutuhan, era dan lingkungan. Sedangkan hikmah yang terpetik dari paradigma semacam itu adalah bahwa perbedaan itu akan berakhir pada satu, Hakekat Ketuhanan.

Dibawah ini adalah data dari beberapa ayat Al Qur’an yang dapat disajikan:

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani dan shabi’in, orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan melakukan perbuatan baik, bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka. Mereka tidak akan merasa ketakutan dan mereka tidak akan bersedih."

" Orang-orang Yahudi berkata bahwa orang-orang Nashrani tidak berada di atas kebenaran dan orang-orang Nashrani berkata kepada orang-orang Yahudi tidak berada di atas kebenaran. Padahal mereka membaca Kitab. Begitulah orang-orang yang tidak mengerti berkata seperti perkataan mereka. Allah-lah yang akan memutuskan pada hari Kiamat tentang masalah yang mereka perdebatkan."

" Jika Tuhanmu menghendaki niscaya menjadikan manusia sebagai umat yang satu. Akan tetapi (Tuhanmu menentukan hukum-Nya dan) mereka selalu berselisih. Kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Tuhanmu. Untuk yang demikianitulah Dia menciptaka mereka. Ketetapan Tuhanmu telah sempurna. Sungguh Aku akan penuhi jahannam itu dengan jin dan manusia seluruhnya."

"Katakanlah kami beriman kepada Allah, kepada yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yakub, tokoh-tokoh Bani Israel dan kepada apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membedakan seorangpun dari mereka. Dan kami berserah diri kepada-Nya."

3. Ikhtiar manusia dalam mewujudkan kerukunan dalam kehidupan beragama

Berbicara masalah kerukunan antar umat beragama dalam kaitannya dengan ikhtiar dalam perwujudannya secara tidak langsung terbesit asumsi dalam pikiran kita bahwa ada kemungkinan jika berbagai penganut agama bertemu dalam satu landasan bersama(common platform).

Membicarakan tentang upaya manusia dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama tidak bisa melepaskan dari beberapa teori pemecahan masalah ketika terjadi problem di tengah masyarakat. Salah satunya adalah dengan jalan musyawarah. Banyak titik berangkat untuk memulai dialog dan kerjasama lintas agama. salah satunya adalah upaya pemerintah dalam mempererat hubungan antar agama melalui Departemen Agama(Depag)maupun oleh individu-individu yang simpati terhadap problematika serta berbagai ketegangan lintas agama dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Kita tidak bisa menutup mata jika sesungguhnya proyek toleransi dan kerukunan antar umat beragama pada mulanya diprakarsai oleh Depag. Tersebutlah sebuah nama, Prof. Dr. Mukti Ali ketika dia menjabat sebagai Menteri Agama periode 1971-1978. Ia membentuk Proyek Kerukunan Hidup Umat Beragama yang menyelenggarakan dialog antar tokoh-tokoh agama. Depag juga membentuk Wadah Musyawarah antar Umat Beragama yang rutin menyelenggarakan pertemuan bersama. wadah ini dibentuk bersama-sama dengan Majelis Ulama Indonesia(MUI), Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia(PGI), Konferensi Wali-Wali Gereja se-Indonesia(KWH), Parisada Hindu Dharma Indonesia(PHDI) dan Perwakilan Umat Budha Indonesia(WALUBI).

Adapun dialog antar agama adalah satu dari beberapa solusi terkait dengan upaya mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Dialog antar agama adalah satu bentuk aktivitas yang menyerap ide keterbukaan. Dialog ini dianggap penting justru karena berfungsi untuk menyingkap ketertutupan yang selama ini menyelimuti hubungan antar agama. Dialog tidak mungkin dilakukan tanpa adanya sikap terbuka antara masing-masing pihak yang berdialog. Jika alternative untuk melakukan dialog antar umat beragama tadi tidak diwujudkan, maka dikhawatirkan akan terjadi kesalahpahaman yang mengakibatkan kita mudah terjerembab ke dalam prasangka sehingga terjadi kontraproduktif bagi hubungan antar agama tersebut. Nah, untuk meminimalisir akibat-akibat negatif seperti tersebut di atas maka tokoh-tokoh agama dan para aktifis merintis tradisi dialog.

Sementara itu terdapat juga penawaran akan bentuk-bentuk dialog agama, antara lain; dialog kehidupan, dialog kerja social, dialog teologis dan dialog spiritualis. Dialog kehidupan merupakan bentuk yang paling sederhana dari pertemuan antar agama yang dilakukan oleh umat beragama. Di sini, para pemeluk agama yang berbeda saling bertemu dalam kehidupan sehari-hari. Mereka berbaur dalam aktivitas kemasyarakatan secara normal. Mereka melakukan kerjasama secara sosial tanpa memandang identitas masing-masing. Diaolg kerja social merupakan lanjutan dari dialog kehidupan yang telah mengarah pada bentuk-bentuk kerjasama yang dimotivasi oleh kesadaran keberagamaan. Kemudian dialog teologis. Dialog ini tidak dapat diabaikan jika kita ingin membangun hubungan antar umat beragama yang sejati dan akhirnya juga melahirkan persahabatan yang sejati pula. Dialog ini bertujuan membangun kesadaran bahwa di luar keyakinan kita ada banyak sekali keyakianan dan keimanan dari tradisi agama-agama selain kita. Kemudian yang terakhir adalah dialog spiritual. Dialog spiritual bergerak dalam wilayah esoterik, yaitu ‘sisi dalam’ agama-agama.

Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap agama memiliki aspek lahir(eksoteris) dan aspek batin(esoteris). Sistem teologi dan ritus agama-agama adalah bagian dari system esoteris. Dialog spiritual melampaui sekat-sekat dan berbagai batasan dalam formalisme agama karena sekat dan batas mengindikasikan perpecahan. Sebenarnya dialog spiritual telah lama dilakukan oleh para mistikus dari berbagai agama. Tujuannya adalah memperkaya pengalaman batin yang dengan itu mereka bisa semakin yakin bahwa semua agama adalah benar, semua hanya terletak pada jalan yang berbeda, pada akhirnya mereka menuju pada satu tujuan. Di bawah ini adalah beberapa ayat yang berhasil dihimpun untuk menguatkan prinsip kerukunan antar umat beragama:

" Jangan mencerca yang tidak menyembah Allah( penganut agama lain)".

" Tidak ada paksaan untuk menganut agama (Islam)".

" Bagimu agamamu dan bagiku agamaku".

" Seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian orang atassebagian yang lain(tidak mendorong kerjasama antar manusia), niscaya rubuhlah biara-biara, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjidyang di dalamnya banyak disebut nama Allah".

" Allah memberi petunjuk melalui wahyu-Nya siapa yang mengikuti keridhaan-Nya dengan menelusuri jalan-jalan kedamaian".

" Katakanlah, Kami atau anda yang berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata".

4. Keadilan Tuhan dalam Menganugerahkan Fitrah Agama kepada Manusia

Dalam Islam, keberagamaan adalah fitrah(sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya). Adapun redaksi ayat selengkapnya adalah sebagai berikut:

"Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya".

Dalam Al Qur’an, kata fitrah dalam berbagai bentuknya disinggung sebanyak 28 kali. Merujuk pada fitrah yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiannya telah membawa potensi beragama yang lurus yang dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.

Selanjutnya, dipahami juga bahwa fitrah adalah bagian dari khalq(penciptaan) Allah. Kalau kita memahami kata la pada ayat tersebut di atas dalam arti "tidak", maka berarti tidak ada seorangpun yang dapat menghindar dari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini berarti bahwa fitrah keagamaan akan melekat pada diri manusia untuk selamanya. Meskipun kadang keberadaannya boleh jadi tidak diakui dan diabaikan.

Agama adalah kebutuhan hidup yang tidak dapat ditangguhkan oleh manusia. Ingat suatu hadis yang kerap dikutip dalam kaitannya dengan fitrah ini.

"Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kedua orang tuanyalah yang membuatnya Yahudi, Nashrami atau Majusi" (HR. Bukhari).

Adanya fitrah adalah sebagai kelanjutan dari perjanjian kita dengan Allah ketika masih berada dalam alam ruhani. Sebagaimana digambarkan dalam kitab suci bahwa sebelum kita lahir dan dipanggil oleh Allah secara bersamaan menghadap dan dimintakan kesaksian bahwa kita akan bertuhankan Allah, berpangerankan Tuhan dan ber-Rabb yang lebih tinggi yaitu Allah. Simak ayat di bawah ini:

" Bukankah Aku ini Tuanmu? Ya kami bersaksi,( Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya kami( ban I adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini( ke-esa-an Tuhan)".

Jadi kita terikat dalam perjanjian dengan Allah dan kehiodupan kita merupakan realisasi atau pelaksanaan untuk memenuhi perjajnian kita dengan Allah yang intinya adalah ibadah dan menghambakan diri kepada Allah.

5. Titik Temu Dari Semua Agama

Jika kita berbicara tentang titik temu dari semua agama maka hal itu telah tersaji dalam uraian yang telah tersebut di depan yakni pada tujuan dari masing-masing agama yang menuju pada satu tujuan, yakni Yang Esa (ketauhidan). Kembali pokok ajaran dari semua agama, maka kita akan menemukan bahwa di setiap agama terdapat Nabi yang berfungsi sebagai penjembatan yang mengantarkan maksud Tuhan kepada manusia. Perintah Tuhan kepada Nabi dapat kita bahasakan sebagai sebuah penilaian yang dapat disimpulkan bahwa sebenarnya agama yang benar, yang membawa kepada keselamatan yaitu agama yang generic dalam arti bebas dari komunalisme dan sektarianisme. Dan dia adalah agama yang berintikan pada suatu sikap kepasrahan kepada Tuhan dengan berbuat baik kepada seluruh umat manusia dan tidak boleh saling mengklaim karena sesungguhnya beragama adalah fitrah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Sedangkan agama manapun secara nyata memang berfungsi dalam kehidupan jika dipahami secara utuh oleh pemeluknya dan umat manusia pada umumnya.

III. KESIMPULAN

Untuk mewujudkan suatu kondisi yang aman tenteram dan saling menghormati serta kerja sama antar umet beragama adalah pr kita sebagai umat Islam karena telah terpapar dalam uraian di atas bahwa sesungguhnya Islam mengajarkan tentang bagaimana cara bertindak dan berprilaku maupun cara berinteraksi dengan masyarakat non muslim dengan menghormati perbedaan. Islam sendiri pada dasarnya sama sekali tidak menafikan pluralisme, bahkan justeru mempertegas adanya pluralisme karena moderatisme yang dinamis tidak akan dapat berjalan tanpa adanya pluralisme.

Setiap usaha yang dilakukan untuk membentuk masyarakat menjadi satu warna dan monoton dengan alasan kesatuanIslam atau moderatisme Islam tanpa mengindahkan adanya pluralitas factor yang mempengaruhi masyarakat tentu dapat dipastikan akan mengalami kegagalan yang akut atau sempurna. Dan kegagalan itu terjadi setelah mengerahkan waktu dan tenaga yang tidak sebentar dan tidak sedikit. Oleh karena itu, adalah tanggung jawab kita bersama untuk terus memupuk kerukunan antar umat beragama melalui upaya menuju persatuan dan kesatuan dalam bingkai Islam secara utuh.
Semoga Allah menyertai langkah kita.
Wallahu a’lam Bi Al Shawa_b

DAFTAR PUSTAKA

Gamal Al Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al Qur’an, Bekasi: Menara, 2006
Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Passing Over, Melintasi Batas Agama, Jakarta: Gramedia dan Paramadina, 1998
Nur Achmad (Ed), Pluralitas Agama " Kerukunan Dalam Keragaman", Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2001
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992
----------------------, Atas Nama Pengalaman, "Beragama dan Berbangsa Di Masa Transisi", Jakarta: Paramadina, 2002
---------------------, Islam Agama Kemanusiaan "Membangun Tradisi Dan Visi Baru Islam Indonesia", Jakarta: Paramadina, Cet. II, 2003, hal. 90-102
Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an "Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat", Bandung: Mizan, 2003
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun, "Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholish Madjid", Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Tim Penulis Paramadina, Fiqh Lintas Agama ‘Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis’, Jakarta: Paramadina, 2005
Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya-Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata, Jakarta: UI-Press, 1986. Media.isnet.org

Hermeneutica J. Habermas

Oleh : Rohman Saleh

Habermas dan Madzhab Frankfurt

Madzhab Frankfurt merupakan proses kontinuitas filsafat Marxis dari kota Frunkfurt. Madzhab Frankfurt adalah suatu komunitas intelektual di sebuah universitas di kota Frankfurt Jerman. Di kota itulah gerakan filsafat pertama kali dilancarkan, yakni filsafat kritis. Adapun madzhab kritis sendiri dikategorikan dalam dua fase. Fase pertama terbentuk dari teori beberapa filosof antara lain Max Hokhaimer, Mercuse, dan Adorno. Diklarasi filsafat kritis dalam fase ini dimotori oleh Hokhaimer dengan karyannya "Tradisional ad Critical Theory", yang pada akhirnya berujung pada kebingungan dalam peng-implememtasi-an teori yang mereka dengungkan. Kemudian muncullah fase kedua yang lebih terkenal dengan sebutan sebagai generasi pencerahan. Fase ini diisi oleh Jurgen Habermas, George Lukacs, Karl Korsh serta Antonio Gramsci. Di fase inilah madzhad kritis mencapai puncak pada titik performanya.

Habermas dan Hermeneutika

Pada dasarnya Habermas lebih dikenal sebagai seorang sosiolog karena lebih sering menyorot masalah social. Sudah dapat dibayangkan tentunya jika seorang sosiolog merumuskan konsep hermeneutika, Teori apa yang akan diusung dan konstruk semacam apa yang akan ditawarkan? Dalam ranah hermeneutika, Habermas menampilkan proyek barunya yang mengawinkan dimensi teori dan praksis perspektif hermeneutika.

Tidak dapat dielakan lagi bahwa yang melatar belakangi tercetusnya ide tersebut adalah upaya penyembuhan terhadap krisis yang diderita oleh mahdzab Frankfurt pada fase pertama. Adapun aksentuasi Habermas ke arah hermeneutica adalah dengan memasukkan unsur filsafat bahasa. Menurutnya, kombinasi antara hermeneutica dan refleksi emansipatoris serta pengetahuan analistis kausalis dapat mendatangkan kontribusi baru bagi teori kritis tanpa meninggalkan batasan teori kritis pada absolutisme ilmu-ilmu social yakni ketika sebuah permasalahan menemukan solusi berupa kebuntuan. Habermas menciptakan kombinasi dialektis yang berfungsi sebagai jembatan antara penjelasan menuju pemahaman yakni berupa aksiokomunik.

Komunikasi adalah sebuah sarana untuk menemukan sebuah kesepahaman antara makna otentik-objektif-saintifik dengan makna akulturatif-subjektif-filosofis. Pendek kata, dia berusaha untuk menyajikan suatu makna yang berasal dari ranah saintifik (sebuah esensi yang tidak tersentuh oleh akal secara dangkal) agar sebuah makna dapat dipahami oleh manusia secara universal. Adapun dari sudut pandang filosofis, dia mengupayakan jalan dialogisasi makna antara bahasa saintis yang sulit dipahami dengan bahasa filosofis yakni bahasa murni dengan bahasa tidak murni karena dalam beberapa kasus tidak akan cukup jika model yang diajukan hanya pihak-pihak dalam satu disiplin ilmu sementara pihak lain yang ikut memiliki kepentingan diabaikan. Kenapa demikian? Suatu teori dari satu disiplin ilmu hanya akan mengetahui makna dari sebuah imperasi. Dan oleh karena itulah cara yang paling tepat untuk bisa digunakan adalah dengan menciptakan komunitas komunikasi (Kommunikations-gameinschaft) masyarakat yang terkena imbas dan menjadi partisipan dalam sebuah diskursus praktis. Karena sebuah kebenaran bukan didasarkan pada tindakan-tindakan yang dikehendaki namun tidak rasional akan tetapi sebuak aksi yang memiliki pengakuan atas norma-norma yang didukung oleh rasio dan dapat dipertanyakan setiap saat.

Pada dasarnya, kerja dan komunikasi merupakan dua tindakan dasar manusia yang menentukan bagaiman kedudukan manusia sebagai spesies yang bergerak dan hidup di atas bumi. Kemudian Habermas mengusung teori komunikasi masyarakat sebagai jalan baru menuju teori kritis. Menurut Habermas, transformasi social perlu diperjuangkan. Salah satu caranya adalah dengan melalui dialog emansipatoris yang difokuskan pada peng-efektifan jalur komunikasi. Bukan melalui jalur dominasi. Dengan demikian, sasaran proyek untuk menjadikan suatu bentuk masyarakat yang dapat berinteraksi dalam suasana komunikasi yang bebas dari penguasaan dan belenggu dogmatisme dapat terwujud. Akhirnya sebuah teori tidak akan mengalami kemandegan meski telah ditemukan kepurnaan dalam konsepnya, namun setidaknya hingga saat ini benang merah yang dapat ditarik adalah bahwa teori Habermas yang paradigmatic untuk sementara dapat dikatakan berhasil dalam mengupayakan disuarakannya emansipasi masyarakat. Karena masyarakat ditempatkan sebagai subjek utama perubahan social. Di samping itu, masyarakat juga diposisikan sebagai pusat proses perubahan dan penciptaan atas suatu tindakan dalam kontrolisasi pengetahuan.

Sasaran Hermeneutika Habermas

Secara global, gambaran tentang Hermeneutika Habermas telah terjabar di depan, namun untuk mengetahui secara lebih terperinci akan kami coba sajikan beberapa stressing dalam konsep hermeneutika Habermas.

Yang pertama, Habermas mengasumsikan bahwa bahasa alamiah jika ditinjau secara prinsipil cukup memadai untuk menjembatani dan menjadi pengurai suatu kompleksitas simbolik, betapapun aneh dan asingnya suatu tanda. Adapun Habermas sendiri mengklasifikasikan pengalaman hermeneutika menjadi dua bagian (momen) yaitu prinsip yang bersifat intersubjektifitas komunikasi terbatas dan yang tidak terbatas. Intersubjektifitas yang tidak terbatas dikarenakan adanya kemungkinan untuk dapat diperluas. Sedangkan yang terbatas dapat disebabkan karena intersubjektifitas itu sendiri pada dasarnya tidak pernah sepenuhnya dapat dicapai. Kedua, Habermas kemudian mengelompokkan seni meyakinkan dan mempersuasi dalam kaitannya dengan hermeneutika filosofis dalam dua hal, (1) mungkin untuk tidak hanya menukarkan informasi melalui medium bahasa sehari-hari, (2) mungkin juga melaluinya dengan sikap yang berorientasi pada tindakan yang akan terbentuk dan berubah.

ORGANISASI DALAM BIROKRASI DAN MASYARAKAT

Oleh: Rohman Saleh

I. PENDAHULUAN

Pentingnya komunikasi dengan manusia adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri oleh manusia itu sendiri. Demikian halnya dengan organisasi. Di samping sebagai wadah untuk bersosialisasi dengan sesama, orgaisasi juga dapat difungsikan sebagai sebuah wadah yang menyediakan berbagai ilmu pengetahuan. Tentang apa dan bagaimana aplikasi ilmu tersebut untuk kita dapat kita analisis sendiri mengingat heterogenitas yang ada di sekitar kita. Oleh sebab itu tidak hanya pengetahuan dasar tentang organisasi sebagai suatu lingkungan tertentu yang berstruktur namun juga berkarakter, serta memiliki fungsi tertentu guna memperlancar komunikasi dalam masyarakat tertentu.

Masyarakat adalah kumpulan dari sekian banyak individu baik itu kecil maupun besar yang terikat oleh satuan adat istiadat, ritus atau hukum yang khas dan hidup bersama. Memahami prilaku manusia tidak dapat begitu saja dilepaskan dari konteks organisasi karena organisasi juga berarti sekelompok orang untuk mencapai tujuan yang telah disepakati dan ditetapkan bersama. Dalam makalah ke depan akan dijelaskan mengenai organisasi beserta struktur yang ada di dalamnya dan organisasi dalam birokrasi serta kedudukannya di tengah-tengah masyarakat.

II. PEMBAHASAN

a. Pengertian Organisasi

Pengertian tentang organisasi banyak dirumuskan oleh sosiolog. Karena itulah tidak ada penyeragaman yang utuh untuk memaknai dengan tepat tentang apa yang dimaksud dengan organisasi.

Schein memaknai organisasi sebagai suatu koordinasi rasional kegiatan sejumlah orang untuk mencapai beberapa tujuan umum melalui pembagian pekerjaan dan fungsi melalui tanggung jawab. Menurut Kochler, organisasi merupakan sistem hubungan yang terstruktur yang menkoordinasi usaha suatu kelompok orang dalam mencapai tujuan tertentu. Lain Schein lain Kochler, lain pula dengan Wright. Wright mengatakan bahwa organisasi adalah suatu bentuk sistem terbuka dari aktifitas yang dikoordinasi oleh dua orang atau lebih untuk mencapai satu tujuan bersama. Sebenarnya tudak ada perbedaan yang mencolok dalam pendefinisian organisasi oleh tiga pengamat tersebut. Rumusan yang ditampilkan oleh ketiga definisi tersebut memang terlihat beda saat kita membaca sekilas akan tetapi memiliki inti perumusan yang sama yaitu bahwa organisasi merupakansuatu sistem dalam mengkoordinasi aktivitas dan mencapai tujuan bersama yaitu tujuan yang bersifat umum.

b. Dasar-Dasar Organisasi

Dalam perkembangannya, organisasi telah menjadi semakin modern dan kompleks dengan segala kompleksitas permasalahan yang ada di dalamnya. Mulai dari beberapa faktor yang mempengaruhinya hingga membutuhkan perhatian tersendiri dari pelaku organisasi itu sendiri. Palaku organisasi dituntut untuk dapat menghadapi masalah denga arif dan bijaksana. Untuk mengetahui lebih jauh tentang organisasi dan yang akan berkecimpung di dalamnya maka sudah sewajarnya jika kita mengetahui tentang ilmu-ilmu yang akan kita jadikan sebagai rujukan dalam menjalankan roda organisasi kelak. Baik itu organisasi dalam ruang lingkup kecil maupun organisasi sekaliber kabinet maupun beberapa lembaga tinggi negara. Dalam hal ini yang pertama kali harus kita ketahui adalah mengenai ilmu-ilmu keorganisasian. Sebelum melangkah lebih jauh maka yang harus kita ketahui adalah tentang apa yang dimaksud dengan ilmu organisasi. Yang dimaksud dengan ilmu organisasi adalah sekelompok pengetahuan yang disusun secara teratur sdan sistematis berdasarkan pada satu prinsip atau azaz-azaz kebenaran yang berlaku umum dan dipelajari secara terus menerus. Ilmu organisasi juga dapat diartikan sebagai kelompok pengetahuan yang mempunyai objek atau sasaran organisasi. Yang termasuk dalam jangkauan ilmu-ilmu keorganisasian adalah:

1. Dasar Pembentukan Organisasi

Yang menjadi dasar bagi pembentukan organisasi pada dasarnya adalah karena manusia adalah makhluk sosial yang dalam konteks ini adalah homo socius. Fakta tersebut adalah sebuah sifat kodrati. Manusia tidak mungkin dapat hidup seorang diri, lepas dari masyarakat, kelompok maupun kehidupan bersama komunitasnya. Manusia adalah makhluk yang berfikir dan dapat berkembang. Setiap manusia memiliki naluri untuk hidup bermasyarakat. Untuk mmemenuhi berbagai macam kebutuhan tersebut maka manusia harus melakukan kerjasama karena dia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Di situlah tingkat keterbatasan manusia yang merupakan cerminan bahwa manusia memerlukan kerjasama dan wadah itu terdapat dalam organisasi.

2. Tujuan Manusia Masuk dalam kelompok

Secara terperinci dapat disebutkan bahwa seseorang masuk dalam suatu kelompok dengan alasan sebagai berikut:
· Kelompok dapat memberikan perlindungan sehingga orang tersebut merasa aman.
· Kelompok dapat membantu mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh seseorang, baik itu permasalahan dalam hal ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.
· Kelompok dapat memberikan status sosial dan pengakuan.
· Kelompok dapat memberikan doronga dan semangat (motivasi) kepada seseorang.
· Kelompok dapat memberikan bimbingan dan pengarahan dalam rangka menungkatkan potensi seseorang.
· Kelompok dapat memberikan kepuasan. Baik itu yang bersifatjasmaniah, psikologis maupun kepuasan sosial.
· Kelompok dapat memberikan bantuan apabila seseorang mengalami kesulitan.

3. Macam-Macam Organisasi

Adapun macam-macam organisasi adalah sebagai berikut:
· Organisasi dilihat dari segi jumlah pucuk pimpinan:
Organisasi Tunggal yaitu organisasi yang memiliki satu pimpinan dan pimpinan tersebut berada di tangan satu orang. Contoh: presiden dalam negara.
Organisasi Jamak yaitu organisasi yang pucuk pimpinannya berada di tangan beberapa orang. Contoh: Dewan Pimpinan Daerah (DPD).
· Organisasi dilihat dari segi keresmian
Organisasi Formal yaitu sebuah organisasi yang apabila kegiatannya dilakukan oleh beberapa orang yang tergabung dalam sebuah kelompok secar sadar dikoordinasikan guna tercapai ttujuan yang dicita-citakan sehingga orang yang tergabung dalam kelompok tersebut memiliki struktur yang jelas. Contoh: Universitas.
Organisasi non formal yaitu organisasi yang disusun secara bebas dan spontan yang keanggotaannya secara sadar dan tidak sadar. Contoh: Arisan
· Organisasi dilihat dari segi luas wilayah
Organisasi daerah yaitu organisasi yang luas wilayahnyya meliputi suatu wilayah tertentu. Contoh: PT. Industri Sandang
Organisasi Nasional yaitu organisasi yang luas wilayahnya meliputi seluruh wilayah dalam suatu negara. Contoh: PDI, Partai Golkar dan lain sebagainya.
Organisasi Regional adalah organisasi yang luas wilayahnya meliputi beberapa negara tertentu. Contoh: ASEAN

4. Komunikasi Dalam Organisasi

Komunikasi dalam organisasi merupakan arus informasi, pertukaran informasi dan pemindahan arti dalam suatu organisasi sebagai suatu sistem terbuka yang menerima energi dari lingkungannya yang kemudian mengubah energi tersebut menjadi produk untuk kemudian dikeluarkan kepada lingkungan. Selain itu iklim komunikasi dan organisasi merupakan al yang perlu diperhatikan, terutama oleh pimpinan organisasi tersebut. Kenapa demikian? Karena sedikit banyak faktor tersebut turut mempengaruhi tingkah laku anggota organisasi. Hal yang tidak kalah pentingnya dalam bahasan ini adalah tentang format interaksi komunikasi dalam organisasi. Yang harus diperhatikan di sisni adalah komunikasi interpersonal, komunikasi terhadap kelompok kecil dan komunikasi publik.. Contoh yang terbentuk melihat tiga sisi tersebut dapat kita jumpai seperti memorandum karyawan dll.

5. Prinsip atau asas organisasi

Dapat dirumuskan bahwa prinsip atau dasar organisasi meliputi:
Prinsip Kesatuan Perintah
Prinsip Keseimbangan
Prinsip Pendistribusian Pekerjaan
Prinsip Rentangan Pengawasan
Prinsip Pelimpahan Wewenang
Prinsip Departementalisasi
Dll.

6. Teori Organisasi

Teori organisasi bukanlah sebuah dogma maupun teori yang memilki kebenaran mutlak. Ada 9 macam teori organisasi:
Teori Organisasi Klasik
Teori Organisasi Birokrasi
Teori Organisasi Human Relation
Teori Organisasi Perilaku
Teori Organisasi Proses
Teori Organisasi Kepemimpinan
Teori Organisasi Fungsi
Teori Organisasi Pembuatan Keputusan
Teori Organisasi Kontingansi

7. Perilaku organisasi

Organisasi pada intinya berprilaku untuk memahami prilaku manusia. Memahami prilaku manusia adalah suatu hal yang sangat sulit karena setiap manusia memiliki prilaku yang berbeda antara satu dengan yang lain. Berdasarkan faktor yang mempengaruhi prilaku, maka prilaku organisasi dibedakan menjadi dua bagian yaitu prilaku intern dan prilaku ekstern. Prilaku intern meliputi prilaku yang dipengaruhi oleh faktor genetika. Bagi seorang pemimpin, data-data tentang latar belakang dari para anggota organisasi adalah satu hal yang sangat penting dalam rangka mengarahkan dan mengembangkan potensi anggota menuju prilaku organisasi yang positif. Yang kedua adalah prilaku ekstern. Prilaku iuni adalah prilaku yang dipengaruhioleh faktor dari luar. Faktor itu meliputi lingkungan dan situasi sehari-hari yang dihadap oleh seseorang dalam hidupnya. Dalam hal ini situasi dan kondisi lingkungan memiliki andil besar dalam pembentukan prilaku dan karakter seseorang.

c. Organisasi Dalam Birokrasi Masyarakat Modern

Birokrasi dapat dipelajari dalam berbagai ilmu sosial. Organisasi dapat dijadikan konteks di mana berbagai karakter dan tingkah laku manusia berlangsung. Organisasi-organisasi modern merupakan wujud atas berbagai struktur kompleks yang terdiri dari beragam elemen yang saling bergantung satu sama lain. Proses-proses sosial dalam birokrasi turut menyempurnakan struktur dan kegiatan birokrasi. Berbagai proses tersebut menjadikan suatu organisasi dapat lebih fleksibel dan tanggap dalam kondisi yang cenderung berubah-ubah setiap waktu.

Stereotip atau label populer dari birokrasi adalah membesar-besarkan kekuatan dari organisasi resmi namun kenyataannya tidak disertai dengan data yang cukup dan dapat dipertanggung jawabkan. Yang perlu ditekankan di sisni sebenarnya adalah bahwa persoalan yang timbul tidaklah berkaitan dengan pribadi-pribadi yang birokrat melainkan proses-proses dalam organisasi yang menuju pada pembentukan prilaku oleh ideologi dari pada hanya sekedar tujuan-tujuan utama dan realitas eksternal.

III. PENUTUP

Dari sekelumit uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya organisasi merupakan suatu wadah yang dapat membentuk prilaku seseorang kelak ketika harus terjun dalam masyarakat, baik itu dalam ruang lingkup yang kecil maupun masyarakat dalam konteks ruang lingkup yang lebih luas seperti dalam pemerintahan. Oleh sebab itu organisasi juga berfungsi sebagai wadah non formal bagi masyarakat yang menghendaki pengetahuan tentang tata cara hidup dan berkehidupan dengan baik dalam masyarakat.

Prospek Asuransi Islam di Indonesia

Oleh : Rohman Saleh

I. PENDAHULUAN

Asuransi pada awalnya adalah suatu kelompok yang bertujuan membentuk arisan untuk meringankan beban keuangan individu dan menghindari kesulitan pembiayaan. Secara umum, konsep asuransi merupakan persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing-masing menghadapi kerugian kecil sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadianggota perkumpulan itu, maka kerugian akan ditnggung bersama oleh mereka (Encyclopedia Britanica, dalam Sukarsono, 2004: 112).

Kebutuhan akan jasa perasuransian semakin dirasakan baik oleh individu maupun dunia usaha di Indonesia. Asuransi merupakan sarana finansial dalam tata kehidupan rumah tangga, baik dalam menghadapi resiko yang mendasar atau dalam menghadapi resiko atas harta yang dimiliki. Demikian pula hukumnya dalam dunia usaha yang menjalankan kegiatannya saat manghadapi berbagai resiko yang mungkin dapat mengganggu kesinambungan usahanya.

Definisi asuransi dapat dilihat dari lima sudut pandang; yaitu sudut pandang ekonomi, hukum, bisnis, sosial maupun matematika (Darmawi, 2004:2). Tidak ada satu definisi yang bisa memenuhi masing-masing sudut pandang tersebut. Asuransi merupakan bisnis yang unik yang di dalamnya terdapat lima aspek tersebut.

Dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian(timbal balik) yang mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanyakarena suatu peristiwa yang tidak tentu(onzeker woral).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1992 menyebutka bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua orang atau lebih yang mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukumkepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari sebuah peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaranyang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Dari pengertian asuransi tersebut diketahui adanya tiga uuunsur pokok dalam asuransi yang dipandang bertentangan dengan nilai-nilai syri’ah yaitu bahaya yang dipertanggung jawabkan, premi pertanggungan dan sejumlah uang ganti rugi pertanggungan.

Untuk mencari jalan keluar dari berbagai macam unsur yang dipandang tidak sejalan dengan syari’ah, telah diusahakan adanya perusahaah asuransi yang menekannkan sifat saling menanggung, saling menolong dai antara para tertanggung yang bernilai kebajikan menurut ajaran Islam (Azhar Basyir, 1993:3).

Perkembangan asuransi di Indonesia cukup menggembirakan. Pada tahun 1994 Asuransi Takaful sebagai pemain tunggal dalam bisnis asuransi Islam, maka tahun 2001 mulai muncul pesaing baru yaitu Asuransi Syari’ah Mubarakah. Setelah itu banyak perusahaan asuransi konvensional yang terpikat membuka devisi cabang syari’ah dengan mengelola usahanya sesuai dengan syari’ah misalnya MAA life Assurance, Asuransi Jiwa Great Eastern, Asuransi Bumi Putera (Majalah Modal, No. 2/I Desember 2002, halaman 32-33)dan lain sebagainya.

Sejak lahir tahun 2002 asuransi Islam mulai membka kerja sama dengan perbankan syari’ah dengan mengeluarkan produk bancassurance, produk ini sebagai salah satu metode pemasaran akan memberikan keuntungan di mana nasbah dapat memperoleh layanan produk, baik produj asuransi maupun bank dalam satu atap. Selain itu nasbah memperoleh kenyamanan dan kemudahan karena umumnya bank bekerja sama dengan perusahaan asuransi terpilih. Nasabah juga mendapatkan standar layanan yang sama dari bank.

Dengan analisis SWOT kita dapat menggambarkan sejauh mana dan seberapa besar prospek ke depan perkembangan dan kemajuan asuransi syari’ah di Indonesia di masa mendatang.

II. PEMBAHASAN

Sejarah Asuransi di Indonesia

a. Masa Penjajahan Belanda (hingga Maret 1942)

Sejarah asuransi jiwa di Indonesia dimulai sejak terjadinya migrasi usaha ini dari negeri Belanda yang di bawa oleh para intelektual negara tersebut ke Indonesia untuk menjamin kehidupan meraka, dalam bentuk maskapai-maskapai. Perusahaan asuransi laun dan kebakaran yang pertama kali muncul di Indonesia adalah Bataviansche Zee & Brand Assurantie Maatschappij yang didirukan pada tahun 1843 (Sudarsono, 2004: 112). Kemudian berdirilah N.V Levensverzekering Maatscappij van de Nederlenden van pada tahun 1843, N. V. Levensverzekering Maatschappij NILLMIJ van pada tahun 1879 (HAsan Ali, 2004: 74). Pada tahun 1912 lahir perusahaan asuransi jiwa Bumi Putera sebagai usaha pribumi.

Jumlah maskapai yang ada dalam masa ini sudah mencapai 36 buah, menyebar dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Beberapa diantaranya bergabung dalam perusahaan asuransi yang dimiliki oleh negara (BUMN).

b. Masa Penjajahan Jepang (hingga 17 Agustus 1945)

Dalam masa ini banyak maskapai asuransi yang ditutup dan gulung tikar. Kondisi ekonomi yang demikian terpuruk menyebabkan perusahaan asuransi terbesar NILLMIJ van 1859 sekalipun nyaris gulung tikar.

c. Masa kemerdekaan (mulai 17 Agustus 1945-1976)

Pada masa kemerdekaan mulai bermunculan beberapa perusahaan swasta nasional di samping Bumi Putera, seperti Dharma Nasional (1945) saat ini digabung dalam PT. Persero Asuransi Jiwa Sraya, Imam Adi (1961), Djaminan (1962), Sukma Sedjati (1962) dan Affan (1964) (Hasan Ali, 2004: 74).

Pada masa ini terjadi peleburan perusahaan-perusahaan asuransi jiwa milik Belanda ke dalam perusahaan negara yang dikuasai pemerintah.

d. Masa tahun 1976 sampai sekarang

Masa ini dimulai pada tahun 1976 dengan munculnya Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1136/ KMK/ IV/ 1976 tentang penetapan besarnya cadangan premi dan biaya oleh perusahaan asuransi di Indonesia (Kasmir, 2003: 277). Keputusan Menteri Keuangan ini kemudian tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 tentang usaha Perasuransian di Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Masa ini ditandai dengan mulai berdirinya perusahaan asuransi syrai’ah di Indonesia yaitu PT. Syarikat Takaful Indonesia yang diikuti oleh semakin banyaknya perusahaan asuransi konvensional yang melakukan konversi ke syari’ah atau peruhaan asuransi konvensional yang membuka cabang/ devisi syari’ah sehingga menjadi booming seperti sekarang ini.

Sejarah Asuransi Islam

a. Konsep Aqilah Pada Masa pra- Islam

Dalam sejarah pra Islam, jika ada salah satu anggota suku Arab pra-Islam melakukan pembunuhan, maka si pembunuh dikenakan diyat dalam bentuk blood money (uang darah) yang dapat ditanggung oleh anggota suku yang lain. Aqilah adalah adalah praktek yang biasanya terjadi pada suku Arab kuno. Jika seorang anggota suku melakukan pembunuhan terhadap anggota suku yang lain, maka ahli waris korban akan mendapatkan bayararan sejumlah uang darah sebagai kompensasi oleh penutupan sanak famili si pembunuh. Penutupan oleh sanak famili pembunuh itu disebut aqilah, disangka benar untuk membanyar uang darah untuk kepentingan si pembunuh (Hasan Ali, 2004: 67-68).

b. Pada masa awal Islam

Denda kesalahan (tidak sengaja) pernah diwajibkan pada zaman Rasulullah SAW, masa Abu Bakar dan pada masa permulaan pemerintahan Umar atas kesalahan yang dilakukan oleh Ahli Ashirah (M. Rawwuas, 1999: 7-8).

c. Awal abad 20 M

Pada paruh kedua abad 20 di berbagai negara Timur Tengah dan Afrika mulai mencoba mempraktekkan asuransi dalam bentuk takaful. Perusahaan asuransi Islam yang lahir pertama kali adalah The United Insurance Company (Sudan) Ltd. pada tahun 1968. Kemudian diikuti dengan berdirinya Islamic Insurance di Sudan pada tahun 1979 dan Islamic Arabic Insurance Co. (Dallah al Barakah Group) pada tahun 1979 (Hasan Ali, 2004: 70-74). Dalam buku dan webnya, Billah telah memberikan daftar beberapa perusahaan asuransi yang berkembang khususny di belahan negara Timur Tengah dan beberapa perusahaan asuransi di negara lain. Sejarah asuransi Islam di Indonesia dimulai dengan berdirinya Asuransi Takaful Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1994.

Pendirian asuransi takaful Indonesia diprakarsai oleh tim pembentuk asuransi takaful Indonesia (TEPATI) yang dipelopori oleh ICMI melalui yayasan Abdi Bangsa, Bank Mu’amalat Indonesia, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Pejabat dari Departemen Keuangan dan pengusaha muslim Indonesia. Untuk mengakomodir UU. Nomor : 2 1992 tentang usaha Perasuransian, maka didirikanlah PT. Syarikat Takaful Indonesia (STI) sebagai Bolding Company pada tanggal 24 Februari 1994 dengan memiliki dua anak perusahaan yaitu PT. Asuransi Takaful Keluarga dan PT. Asuransi Takaful Umum (Hasan Ali, 2004: 76). Setelah itu berdirilah beberapa perusahaan asuransi Islam baik hasil konversi dari asuransi konvensional maupun cabang/ devisi syari’ah dari perusahaan asuransi konvensional (terdapat tiga model asuransi syariah di Indonesia, yaitu (1) murni Syari’ah, misalnya asuransi takaful (2) konversi ke syari’ah, misalnya asuransi Syari’ah Mubarakah dan (3) Cabang/ devisi syari’ah, misalnya MAA Life Assurance, Asuransi Great Eastern dan Asuransi Bumi Putera dan sebagainya.

Definisi Asuransi Islam

Dalam fatwa dewan syariah Nasional (DSN) no. 21/ DSN-MUI/ X/ 2001 tentang pedoman umum asuransi syari’ah dinyatakan bahwa asuransi syariah (ta’min, takaful atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/ pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan polla pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah (tidak mengandung unsur gharar / penipuan, maisir/ perjudian, riba, zulm/ penganiayaan, risywah/ suap, barang haram dan maksiat) (Dewan Syariah, 2001). Sedangkan Praja mengatakan bahwa takaful adalah saling memikul resiko di antara sesama orang sehingga antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko itu dilakukan atas dasar tolong menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana ibadah (tabarru’) yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut (Muhammad, 2001: 11).

Latar Belakang Berdirinya Asuransi Islam

Paling tidak menurut hemat penulis terdapat 4 latar belakang berdirinya asuransi Islam, yaitu:

a. Hanya trend semata

Hal ini bisa dibuktukan dengan semakin banyaknya perusahaan asuransi yang mengelola usahanya sesuai dengan syariah. Mereka lebih melihat peluang bisnis asuransi syariah yang memang masih sangat terbuka lebar dan juga mempertimbangkan kebutuhan pasar.

b. Murni Kebutuhan

Akhir- akhir ini resiko dan peristiwa yang tidak diharapkan cenderung mengalami peningkatan yang signifikan. Kejahatan dan kriminalitas semakin merajalela. Sehingga kebutuhan akan hadirnya jasa asuransi (syariah) untuk melindungi diri dan harta benda menjadi sebuah keniscayaan.

c. Rekonseptualisasi dari asuransi konvensional

Umat Islam menilai bahwa apa yang telah diprektekkan oleh perusahaan asuransi konvensional selama ini kurang bahkan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sehingga mereka berusaha untuk "mengislamkan" asuransi konvensional dengan proses Islamisasi. Unsur-unsur dalam perusahaan asuransi konvensional yang tidak sesuai dengan syariah (seperti maisir, gharar, riba, risywah, zulm, haram dan maksiat) diminimalisir bahkan dihilangkan, diganti dengan konsep yang sesuai dengan syariah.

d. Sebagai alternatif bagi (calon) nasabah

Sebagaimana perbankan syariah, umat islam juga ingin mendirikan asuransi syariah sebagai alternatif pilihan bagi calon nasabah. Dengan keunggulan sistem yang diusung terutama dalam hal akad, diharapkan umat islam lebih mamilih asuransi syariah atau mengalihkan pembayaran preminya ke asuransi syariah.

Prinsip-Prinsip Dasar Asuransi Islam

1.Tauhid (unity); 2. Keadilan (justice); 3. Tolong-menolong (ta’awun); 4. Kerja sama (cooperation); 5. Amanah (trustworthy/ al-amanah); 6. Kerelaan (ar-ridho); 7. Larangan riba; 8. Larangan maisir (judi); 9. Larangan ketidakpastian (gharar); 10. Larangan haram dan maksiat (Hasan Ali, 2004: 125-136); 11. Saling bertanggungjawab; 12. Saling bekerja sama atau saling bantu-membantu; 13. Saling melindungi penderitaan satu sama lain (Kholil, dalam Sudarsono, 2004: 115-116).

Syarat-syarat Utama Dalam Asuransi Islam

Asuransi Islam harus memiliki persyaratan utama agar dapat beroprasi secara Islam:
a. Syarat- syarat produk yang sesuai dengan syari’ah
b. Syarat-ayarat bermitra yang sesuai dengan syariah
c. Syarart -syarat investasi yang sesuai dengan syariah
d. Syarat -syarat manajemen yang sesuai dengan sesuai dengan syariah (Sudarsono: 2004:8).

Keempat persyaratan di atas telah disepakati oleh para ahli undang- undang Islam. Hal itu dituangkan dalam beberapa kesempatan, yaitu:
a. Konferensi pertama pakar ekonomi Islam di Makkah tahun 1389 H.
b. Fatwa Dewan ulama studi Arabia yang dikeluarkan tahun 1397 H.
c. Fatwa Ahli Perundangan Islam (Liga Musli) yang dikeluarkan tahun 1398 H.
d. Konferenasi organisasi cendekiawan perundangan Islam yang dikeuarkan tahun 1405 H.

Perbedaan Asuransi Islam Dengan Konvensional

Perbedaan asuransi dalam Islam danasuransi konvensional meliputi:
a. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam perusahaan asuransi Islam merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam.

b. Prinsip asuransi adalah takaful (tolong menolong) sedangkan prinsip asuransi konvensional adalah tabaduli (jual beli antara nasabah dengan perusahaan).

c. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi Islam (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah berdasarkan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan investasi dana yang dilakukan pada berbagai sektor dengan sistem bunga.

d. Premi terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah (shahib al mal). Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya (madharib). Sedangakan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaaan memiliki otoritas penuh untuk menetapakan kebijakan pengelolaan dana tersebut.

e. Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru’ seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk kepentingan tolong menolong jika ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.

f. Keuntungan investasi dibagi dua di antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tidak ada klaim, maka nasabah tidak mendapatkan apa-apa (Heris Sudarsono, 2004: 118-119).

g. Prinsip produk. Produk asuransi Islam bisa dimulai mudharabah, wadiah, tabarru’ dan ta’awun. Jadi jika seseorang masuk asuransi perorangan berunsur saving dengan prinsip mudharabah, maka nasabah dikenakan iuran tabarru’ dari jumlah yang kecil dari uang premi yang disetorkan, maka sebaggian besar uangnya adalah untuk investasi. Jadi, jika ia berhanti di tengah jalan maka sepenuhnya uang tersebut akan dikembalikan oleh perusahaan kecuali sebagian kecil yang telah diikhlaskan menjadi dana tabarru’.

h. Prinsip kepemilikan. Apakah boleh jika asuransi Islam sepeneuhnya dimiliki oleh non muslim? Perusahaan yng erat kaitannya dengan aktivitas umat Islam, saham mayoritas seharunya dimiliki oleh orang Islam.

i. Segi kepengurusan. Apakah diperbolehkan jika orang non-musli menjadi pengurus asuransi Islam? Dalam mengurus usaha-usaha yang erat kaitannya dengan masyarakat Islam, masalah akidah tidak bisa dilepaskan. Kenapa demikian? Karena dari akidah inilah kemudian muncul prinsip-prinsip kejujuran, amanah, tabligh, fathanah dan keadilan terhadap para nasabah (Lutfi Hamid, 2003: 257-260).

Karakteristik Market Share Nasabah Asuransi Jiwa

Adiwarma Karim membagi karakteristik pasar nasabah asuransi jiwa dalam tiga kelompok, yaitu:

Kelopok pertama disebut young ethical concious market. Mereka adalah nasbah kelas pekerja yang baru berkeluarga atau keluarga muda berusia 25-35 tahun. Kelompok ini adalah kelompok nasabah yang menginginkan produk berkualitas tetapi murah. Mereka cukup antusias dalam merespon ide pengembangan asuransi Islam, tetapi pada saat yang sama tetap menghendaki kenyamanan berasuransi. Kelompok yang berpenghasilan minimal 3,5 juta perbulan ini bisa dilayani oleh asuransi konvensional atau asuransi Islam.

Kelompok kedua adalah kelompok yang disebuty sebagai variety seeking behavior market yang mencerminkan pribadi-pribadi matang dalam mengelola bisnis. Di tengara berusia antara 35-55 tahun. Mereka kebanyakan bercita-cita memiliki bisnis dan tentulah cash flash sendiri. Mereka dicitrakan sebagai pribadi-pribadi yang sangat menghargai ide-ide baru termasuk alternatif terobosan. Mereka mengakui asuransi islam lebih utama tetapi pada saat yang sama mereka masih menggunakan asuransi konvensional. Mereka cukup puas dengan layanan asuransi yang sekarang sudah mereka nikmati tetapi masih terus berharap menemukan asuransi yang lebih sesuai. Kelompok ini rata-rata berpenghasilan minimal 5 juta perbulan. Mereka mewakili kelas menengah yang mapan dalam kehidupan ekonominya. Selain itu mereka gemar mencari variasi baru dalam produk asuransi. Kelompok ini juga bisa dilayani oleh asuransi Islam maupun asuransi konvensioanal.

Kelompok ketiga dikategorikan sebagai sharia loyalist yang diwakili oleh orang-orang yang yang dalam memilih produk asuransi lebi memilih untuk mengedepankan nilai empati dan akhlak. juga pada produk-produk yang konsisten, teratur dan bertanggung jawab. Dalam beberapa hal, kelompok ini cendeerung konservatif, tradisional, mudah memberi kepercayaan, lebih berwawasan serta lebih mengutamakan kualitas kehidupan mereka.
Prospek Asuransi Islam dalam Analisis SWOT

Agus Hariyadi (2000: 179-183) menyebutkan bahwa ada beberapa aspek yang dapat menjadi peluang, ancaman (tantangan), kekuatan dan kelemahan dalam memperluas jaringan bisnis asuransi Islam di Indonesia.

· Peluang

Beberapa peluang yang muncul adlam kaitannya dengan asuransi Islam di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Keunggulan konsep asuransi Islam dapat memenuhi tuntutan rasa keadilan dari masyarakat.
2. Jumlah penduduk beragama Islam di Indonesia lebih dari 180 juta orang.
3. Meningkatnya kesadaran untuk bermuamalah sesuai dengan syariah tumbuh subur khususnya pada masyarakat golongan menengah.
4. Meningkatnya kebutuhan jasa asuransi karena perkembangan ekonomi umat.
5. Tumbuhnya lembaga keuangan syariah (LKS) lainnya seperti bank dan rekadana.
6. Kompetitor dalam bisnis asuransi Islam masih sedikit.
7. Berlakunya undang-undang otonomi daerah yang akan memacu perkembangan ekonomi daerah.
8. Kebutuhan meningkatkan pendidikan anak.
9. Meningkatnya resiko pendidikan.
10. Meningkatnya bea kesehatan (harga obat dan lain-lain).
11. Menurunnya rasa tolong menoling di masyarakat (sudah tidak membudaya lagi).
12. Globalisasi (teknologi internet sebagai penunjang bisnis.
13. Adanya UU Dana Pensiun.
14. "Employe Benefits" sebagai bagian dari paket perusahaan dalam rekruitmen keryawan.

· Ancaman/ tantangan

Adapun ancaman atau tantangan yang akan dihadapi oleh asuransi Islam di Indonesia adalah:
1. Globalisasi, masuknya asuransi luar negeri yang memilki nilai kapital yang lebih besar dan teknologi yang lebig canggih sehingga membuat premi asuransi menjadi lebih murah.
2. Asuransi konvensional dan lembaga keuangan lainnya yang lebih efisien.
3. Langkanya ketersediaan SDM yang qualified dan memilki semangat syari’ah.
4. Citra lembaga keunagn syariah yang belum mapan di kalangan masyarakat padahal ekspektasi masyarakat terhadap LKS sangat tinggi.
5. Sarana investasi syariah yang yang ada sekarang belum mendukung secara optimal utuk perkembangan asuransi Islam.
6. Belum ada UU dan PP yang secara khusus mengatur asuransi Islam.
7. Budaya suap dan kolusi dalam asuransi kumpulan (group insurance) masih kental.
8. Alokasi pengeluaran masyarakat untuk asuransi masih sangat terbatas, hal ini tampaknya berkaitan dengan masalah sosialisasi asuransi dan pengalaman berasuransi.

· Kekuatan

Adanya peluang dan ancaman asuransi Indonesia sebagaimana tersebut di atas, asuransi Islam juga memiliki kekuatan dan kelemahan sebagaimana deskripsi berikut ini:
1. Tenaga kerja profesional/ SDM inti yang kompeten dan memliki integritas moral dan ghirah Islam yang berada dalam sebuahteamwork yang solid.
2. Pemegang saham yang memiliki visi dan misi syariah yang jelas.
3. Kelompok pemegang saham mampu mengusahakan "capital marker" awal.
4. Kelompok pemegang saham diharapkan memiliki potensi network yang bisa diintegrasikan dengan sistem yang dimiliki "profesional teamwork".
5. Kelompok pemegang saham diharapkan memmiliki infra struktur teknologi dan potensi tenaga ahli, misalnyafund manager.
6. Dalam aspek legal, sifat perjajnian yang memenuhi syarat syariah mampu memberi rasa aman kepada peserta asuransi Islam selain unsur duniawi semata.
7. Adanya unsur dakwah.
8. Produk asuransi bersifat tranparan.

· Kelamahan

1. SDM pendukung (lapisan kedua dan sebagainya) belum banyak memahami bisnis syariah.
2. Dalam hal pemasran, alternatif distribusi rellatif masih terbatas dibanding pola konvensional.
3. Kimpleksitas dalam administrasi syariah (misalnya dalam perhitungan bagi hasil dan tingkat hasil investasi memerlukan dukungan sistem yang handal.
4. Permodalan yang terbatas akan mempengaruhi:
a. Sistem/teknologi pendudkung manajemen
b. Strategi bisnis
c. Ketersediaan infrastruktur (internal/eksternal, customer support, etc)
5. Apabila pemegang saham kurang menghargaipentingnya investasidi bidang IT sebagai "modelling tools" dan "administrasi tools".
6. Pengalaman langsung/ penerapan model terhadap bisnis riil belum cukup (baru pada tahap teoritis).
7. Lemahnya "public relations"untuk mengkomunikasikan keunggulan LKS (idealnya beralih dari "slowterm/ hit and run marketing" menjadi longterm marketing/ customer relationship).
Setelah terpetakan kekuatan dan kelemahan asuransi Islam di Indonesia, perlu pula dimunculkankendala dan strategi pengembangan asuransi Islam di Indonesia.

Kendala dan Strategi Pengembangan Asuransi Islam di Indonesia

Dalam pengembangannya asuransi Islam menghadapi beberapa kendala, di antaranya:
a. Rendahnya tingkat perhatian masyarakat terhadap keberadaan asuransi Islam yang relatif baru dibanding dengan asuransi konvensional yang telah dikenal masyarakat baik nama maupun operasinya.
b. Asuransi bukanlah bank yang mempunyai peluang lebih banyak untuk bisa berhubungan dengan masyarakat dalam hal pendanaan atau pembiayaan. Artinya, masyarakat lebih mempunyai kepentingan dengan produk-produk bank. Sebaliknya, masyarakat kurang berkepentingan dengan produk-produk asuransi.
c. Asuransi Islam masih dalam proses pencarian bentuk. Oleh karenanya diperlukan langkah-langkah sosialisasi, baik untuk mendapatkan perhatian masyarakat maupun sebagai upaaya mencari masukan demi perbaikan sitem yang ada.
d. Rendanya profesionalisme sumber daya manusia (SDM)menghambat laju pertumbuhan asuransi Islam. Penyediaan sumber daya manusia dapat dilakukan kerjasama dengan berbagai pihak terutama lembaga-lembaga pendidikan untuk membuka atau memperkenalkan pendidikan asuransi Islam (Heris Sudarsono, 2004: 120-121).

Sedangkan strategi pengembangan asuransi Islam adalah:

a. Perlu strategi pemasaran yang lebih terfokus kepada upaya untuk memenuhi pemahaman masyarakat tentang asuransi Islam. Maka asuransi Islam perlu meningkatkan kualitas pelayanan (service quality) kepada pemenuhan pemahaman masyarakat ini.
b. Sebagai lembaga keuangan yang menggunakan sistem syari’ah tentunya aspek syiar Islam merupakan bagian dari operasi asuransi tersebut. Syiar Islam tidak hanya dalam bentuk normatif, tetapi juga hubungan antara perusahaan asuransi dengan masyarakat.

c. Dukungan dari berbagai pihak terutana pemerintah, ulama,akademisi dan masyarakat diperlukan untuk memberikan masukan dal penyelenggaraan operasi asuransi Islam. Hal ini diperlukan sebagai kontrol terhadap asuransi Islam agar berjalan pada sistem yang berlaku sekaligus meningkatkan kemampuan asuransi Islam dalam menangkap kebutuhan dan keinginan masyarakat (Heri Sudarsono, 2004: 121).

Peluang Sinergi Antara Asuransi Dan Perbankan

Kerjasama antara asuransi dan perbankan yang paling banyak dilakukan adalah asuransi kredit dan personal accident (Abbas, 2003: 13). Asuransi menyimpan uang di bank serta menjadkan bank sebagai tempat lalu lintas transaksi keuangannya. Betapa banyak kesamaan aktifitas operasional antara asuransi Islam dan perbankan. Banyak sekali peluang kerjasama antara asuransi dan perbankan dengan prinsip win win solution, tanpa harus mengganggu konsep dasar bisnis masing-masing lembaga. Keunggulan perbankan di bidang IT (Informasi Teknologi) misalnya dapat digunakan asuransi dalam mengadministrasikan keuangan masing-masing pemegang polis secara lebih baik. Karena asuransi dalam pemesarannya terutama bersifat dor to dor service, dapat pula dimanfaatkan sebagai perpanjangan tangan tangan perbankan dalam menyebarluaskan produk-produknya. Bank juga dapat berfungsi sekaligus sebagai outborized agency untuk memasarkan produk asuransi (Abbas, 2002: 13). Karena asuransi dapat berinfestasi tanpa menggunakan pihak ketiga, maka penyaluran dana melalui koridor infestasi menjadi semakin besar.

Sering terjadi bahwa bank offer liquid sehingga menanggung beban bunga terhadap idle money yang mereka kuasai dan secara keseluruhan kemungkinan besar akan menjadi negatif spread yang pada gilirannya beban bunga menjadi beban bank central yang notabenenya adalah beban seluruh rakyat. Tidak perlu mencari penyebabnya, namun apabila idle money tersebut instrumennya diubah menjadi polis asuransi Islam maka beban bunga dapat dikurangi sementara uang tersebut dapat pula diinfestasikan. Asuransi dapat pula menggunakan bank sebagai chanelling dalam melakukan pembiayaan retail. Ini dimungkinkan karena bank tidak menanggung resiko terhadap kerugian atas pembiayaan yang dilakukan. Resiko tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab asuransi (Abbas, 2000:14).

Bancassurance

Bancassurance merupakan bentuk kerjasama bank dan perusahaan asuransi dalam memasarkan produk asuransi atau gabungan produk asuransi dan bank kepada nasabah (Oktavia, 2006). Dalam sejarahnya, perkembangan bancassurance dipelopori oleh Eropa. Di sana, bancassurance tumbuh dengan pesat dalam hal jumlah premi yang dijual melalui bank. Sementara di Asia perkembangannya juga tidak kalah menarik. Di Indonesia bancassurance mulai diperkenalkan pada tahun 1990-an oleh Bank Lippo dengan Lippo Live yang terkenal dengan produk warisan. Dan ikuti oleh produk-produk lain seperti tabungan pendidikan Bank Niaga- Cigna, juga berbagai produk asuransi kesehatan yang dilakukan oleh Bank Danamon dan bank-bank besar lainnya. Meskipun agen asuransi tetap menjadi chanel distribusi yang dominan dalam memasarkan produk asuransi jiwa di Indonesia, perkembangan chanel distribusi bancassurance sangat menggembirkan karen telah menyumbangkan sedikitnya 10% pendapatan premi bisnis baru atau sekitar 1 triliun rupiah.

Kerjasama antar bank dan perusahaan asuransi dalam bancassurance bervariasi. Secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok (Oktavia, 2006). Pertama, perjanjian pemasaran (distribution agreement) yaitu kerjasama yang paling umum dilakukan termasuk di Indonesia. Kedua, kerjasama aliansi strategis (strategic alliance agreement)dan ketiga adalah kelompok jasa keuangan (financial service group). Dua bentuk kerjasama terakhir ini biasanya mengintegrasikan operasi antar bank di depan dan asuransi di belakang (front and back end operations) dalam rangka menawarkanproduk asuransi kepada nasabah bank. Selama ini kerjasama bank dan asuransi lebih banyak meliputi asuransi jiwa termasuk kecelakaan, asuransi kesehatan, asuransi kerugian seperti kendaraan dan unit link.

Pada tahun awal, bancassurance hanya sebatas antara bank yang berada di bawah satu grup. Namun sejak tiga tahun belakangan ini banyak bank yang melakukan kerjasama denga banyak perusahaan asuransi. Tidak dapat dipungkiri bank hanya mau bekerjasama dengan perusahaan asuransi yang mempunyai reputasi yang baik.

Menjelang tahun 2003, sektor perbankan dan asuransi kembali menjalin hubungn mesra dalam mengeluarkan produk kombinasi berupa bancassurance. Produk kombinasi ini dipakai sebagai stretegi yang dipergunakan bank atau asuransi yang bertujuan untuk mengoperasikan pasar jasa keuangan dengan cara yang lebih mudah terintegrasi. Dengan produk bancassurance, masyarakat akan mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Selain tercatat sebagai nasabahdi bank, juga terdaftar sebagai peserta asuransi rekanan bank. Premi yang bayarkan langsung dipotong dari tabungan.

Pada Nopember 2002, Bank Danamon menjalin kerjasama dengan Zurich Life Insurance, perusahaan asuransi bereputasi bancassurance tingkat internasional. Pada Januari 2003, Bank Mandiri, bank terbesar di Indonesia menjalin kerjasama dengan AXA Asia Pasific Holdings dengan membentuk perusahaan patungan dalam bidang bancassurance. Perusaan asuransi Eka Life menjalin kerjasama asuransi dengan BII (Majalah Modal, 2003). Gejala yang sama diikuti oleh perusahaan asuransi Islam PT. Asuransi Syariah Mubarakah (ASM) yang resmi menggandeng Bank BNI Syariah dan Bank Bukopin dengan merilis program asuransi tabungan Wadiah Multi Guna (WMG). Bahkan Asuransi Syariah Mubarakahtelah mengawalinya pada Nopember 2002 yang baru dapat berjalan secara efektif pada Januari 2003. Sedangkan PT. Asuransi Takaful Keluarga mengadakan jalinan kerjasama dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI) (Majalah Modal, 2003). Peluang di atas hanyalah sebagian kecil dari sejumlah besar peluang kerjasama antara asuransi dan perbankan yang kiranyadapat menjadi renungan kita bersama.

III. PENUTUP
Prospek asuransi Islam di Indonesia akan cerah dan semakin prospektif jika umat Islam dapat membaca dan memberdayakan peluang dan kekuatan yang dimiliki. Di samping itu, asuransi Islam juga harus bisa meminimalisir ancaman atau tantangan yang sudah dan akan muncul sekaligus memperbaiki kelemahan atau kekurangan yang ada. Sebagai sebuah lembaga keuangansyariah, asuransi Islam tidak boleh berkutat pada dataran simbol-simbol keagamaan.
Konsekuensi sebagai bagian dari lembaga keuangan syariah sangat tinggi. Oleh karena itu, konsistensi menjalankan usaha sesuai dengan syariah baik dalam manajemen, produk, investasi, promosi dan lain-lainjuga harus diperhatikan dan diaplikaskan. Sebagai lembaga keuangan yang tentunya juga berorientasi keutungan (profit oriented), asuransi Islam tidak boleh melupakan tujuan awal berdirinya asuransi Islam yang menggusung semboyan sosial oriented sebagai wujud ta’awun ‘ala al birr wa at taqwa.


DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Khairul, " Konsep dan Aplikasi Prinsip Syari’ah dalam Bisnis Asuransi Jiwa", makalah dalam seminar nasional Konsep dan Sistem Ekonomi Syari’ah Pada Lembaga Keuangan Perbankan, 30 Mei 2002.
Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teotitis dan Praktis (Jakarta: Kencana, 2004) Cet. Ke-1
Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Fatwa dewan Syari’ah Nasional No. 21/ DSN-MUI/ X/ 2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah (Jakarta: 2001)
Hamidi, M. Lutfi, Jejak-jejak Ekonomi Syariah (Jakarta:Senayan Abadi Publishing, 2003), cet. Ke-1
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003).
Khalil, Jafril, "Asuransi Syari’ah (Konsep dan Aplikasi)", makalah dalam pendidikan dan Penelitian Sistem Operasional Produk Asuransi Syariah PT. Asuransi Syariah Mubarakah, 10-11 nopember 2001.
Tiur, Santi Oktavia, Kompas, " Bancassurance" Layanan Satu Atap Yang Menggiurkan, Selasa, 14 Maret 2006.
Modal, No. 2/ I- Desember 2002.
Modal, No. 9/ I- Juli 2003
Muhammad, "Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islam", (Jakarta: Salemba Empat, 2002), edisi I.
Qal’ahji, Muhammad Rawwas, "Ensiklopedi fiqh Umar Bin Khaththab", terj. M. Abdul Mudjieb AS. Dkk. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), cet. Ke-1.
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), cet. Ke-2.
UU RI No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian.

Islam dan Ilmu Pengetahuan

Entri dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Ikhtiar Baru-van Hoeve, Jakarta
(September 2002)
Zainal Abidin Bagir
Center for Religious and Cross-cultural Studies Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia

Sejak akhir abad ke-19 hingga kini, salah satu persoalan besar yang diangkat para pemikir Muslim adalah sikap yang mesti diambil terhadap ilmu pengetahuan modern di dunia Barat. Perdebatan mereka dilatarbelakangi kesadaran bahwa dunia Islam pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan, tetapi pada Zaman Baru telah jauh tertinggal oleh dunia Barat. Perbincangan tentang Islam dan ilmu pengetahuan sejak akhir abad ke-19 itu memiliki dua aspek penting.

Pertama, periode tersebut ditandai banyak perkembangan baru dalam pemikiran Islam. Penyebab utamanya adalah kontak yang semakin intensif - pada beberapa kasus bahkan berupa benturan fisik - antara dunia Islam dan peradaban Barat. Gagasan seperti "kemodernan" serta "modernisme", "westernisasi" atau pembaratan, dan "sekularisme" menjadi objek utama perhatian para pemikir Muslim. Demikian luasnya penyebaran gagasan baru itu sehingga tak berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran baru Islam lahir dari keinginan menanggapinya.

Kedua, sejak awal perkembangan Islam, ilmu -berdasarkan pengamatan, wahyu, atau renungan para sufi- sebagai induk ilmu pengetahuan selalu mendapatkan perhatian para pemikir Muslim. Bertemu dengan kecenderungan di atas, perhatian tersebut mengambil bentuk tanggapan terhadap perkembangan pesat ilmu pengetahuan modern di dunia Barat, yang dianggap tidak berinduk pada suatu ilmu yang benar. Tanggapan itu, karena lebih merupakan reaksi daripada usaha atas prakarsa sendiri, pada diri beberapa pemikir dan aliran pemikiran merupakan penyempitan wilayah wacana tentang ilmu dan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan periode sebelumnya, khususnya masa awal perkembangan intelektual Islam.

Sejak abad ke-19, usaha untuk memberi tanggapan itu melahirkan pemikiran tentang antara Islam dan ilmu pengetahuan yang amat beragam. Tanggapan tersebut dapat berarti usaha apologetis untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat sebenarnya bersifat "islami". Bisa pula merupakan usaha mengakomodasi sebagian nilai dan gagasan ilmu pengetahuan modern karena dianggap islami, sambil menolak sebagian lain. Tidak pula bisa dilupakan usaha "islamisasi" berbagai cabang ilmu pengetahuan dan penciptaan suatu "filsafat ilmu pengetahuan Islam". Akhirnya ada upaya rekonstruksi pandangan dunia serta epistemologi Islam.

Kesemua tanggapan itu dapat dikelompokkan ke dalam dua wacana besar. Pembagian atas dua wacana ini sebagian bersifat kronologis dan sebagian lagi tematis. Wacana pertama, yang berkembang sejak abad ke-19, terfokus pada penegasan bahwa tidak terdapat pertentangan antara ilmu pengetahuan dan Islam. Penegasan tersebut didasarkan pada pandangan instrumentalis tentang ilmu pengetahuan, artinya pandangan bahwa ilmu pengetahuan sekedar alat dan tidak terikat pada nilai atau agama tertentu. Sementara hingga kini wacana tersebut masih kerap muncul, ada pula wacana baru yang mendominasi perbincangan tentang ilmu pengetahuan dan Islam sejak setidaknya akhir tahun 1960-an, yaitu tentang "islamisasi" ilmu pengetahuan.

Wacana Pertama: Pandangan Instrumentalis tentang Ilmu Pengetahuan

Di dunia Islam, ilmu pengetahuan modern mulai menjadi tantangan nyata sejak akhir abad ke-18, terutama sejak Napoleon menduduki Mesir pada 1798 dan semakin meningkat setelah sebagian besar dunia Islam menjadi wilayah jajahan atau pengaruh Eropa. Serangkaian peristiwa kekalahan berjalan hingga mencapai puncaknya dengan jatuhnya Dinasti Usmani di Turki. Proses ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi militer Barat.

Setelah pendudukan Napoleon, Muhammad Ali memainkan peran penting dalam kampanye militer melawan Perancis. Ia diangkat oleh penguasa Usmani menjadi "pasya" pada tahun 1805 dan memerintah Mesir sampai dengan tahun 1848. Percetakan yang pertama didirikan di Mesir awalnya ditentang para ulama karena salah satu alatnya menggunakan kulit babi. Buku-buku ilmu pengetahuan dalam bahasa Arab diterbitkan. Muhammad Ali mendirikan beberapa sekolah teknik dengan guru-guru asing. Ia mengirim lebih dari 400 pelajar ke Eropa untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi. di beberapa wilayah Arab lain, seperti Oman dan Aljazair, upaya pengislaman informasi sosial serupa tampak di Turki Usmani.

Di Turki, Sultan Salim III (1761-1808) mengembangkan teknologi militer Eropa, menerjemahkan buku-buku Eropa, dan memasukkan pengajaran ilmu pengetahuan dan teknologi modern ke dalam kurikulum sekolah dengan pengajar-pengajarnya orang Eropa. Puncaknya adalah ketika Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938) melakukan revolusi di Turki dengan gagasan sekularismenya.

Dalam situasi seperti ini, ketika teknologi Muslim jauh tertinggal dari Eropa dan usaha mengejar ketertinggalan ini dilakukan Muslim memberikan tanggapan dalam dua hal, yaitu merumuskan sikap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi peradaban Barat modern, dan terhadap tradisi Islam. Kedua unsur ini sampai kini masih mewarnai pemikiran Muslim hingga kini.

Jamaluddin al-Afghani dan Para Pembaharu Arab

Salah satu tanggapan terpenting di dunia Islam diberikan oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897). Gagasannya mengilhami Muslim di Turki , Iran , Mesir, dan India ini. Meskipun sangat anti-imperialisme Eropa, ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tak melihat adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun, gagasannya untuk mendirikan sebuah universitas yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan modern di Turki menghadapi tentangan kuat dari para ulama. Akhirnya ia diusir dari negeri itu.

Bagi Afghani, ilmu pengetahuan Barat dapat dipisahkan dari ideologi Barat. Barat mampu menjajah Islam karena memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi itu, sebab itu kaum Muslim harus juga menguasainya agar dapat melawan imperialisme Barat. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah alat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai ditentukan oleh agama Islam. Di sini sudah tampak bibit pandangan instrumentalistik, yaitu anggapan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah alat untuk prakiraan dan pengendalian, dan sama sekali tak berbicara tentang kebenaran. Pandangan al-Afghani ini didukung oleh gagasannya bahwa Islam menganjurkan pengembangan pemikiran rasional dan mengecam sikap taklid. Dalam hal ini yang dianjurkannya bukan hanya pengkajian ilmu pengetahuan tetapi juga pengembangan filsafat Islam yang telah lama mandek.

Gagasan al-Afghani amat berpengaruh, khususnya di dunia Arab dan Iran . Penerus utama gagasan Afghani di dunia Arab adalah pembaharu Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Keduanya sempat mengunjungi beberapa negara Eropa, dan amat terkesan dengan pengalaman mereka di sana . Rasyid Ridha, yang mendapat pendidikan Islam tradisional, menguasai bahasa asing (Perancis dan Turki), yang menjadi jalan masuk untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern, secara umum. Karena itulah, ketika gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, dengan jurnal Al-'Urwah al-Wutsqa-nya yang diterbitkan di Paris, dan menyebar di Mesir, tak sulit bagi Ridha untuk bergabung dengan gerakan itu.

Seperti Afghani, Abduh tidak melihat adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dan al-Qur'an. Jika hal itu terjadi, maka berarti penafsiran atas al-Qur'an itulah yang mesti dipertanyakan. Dalam beberapa hal Ridha tampak lebih moderat dari Abduh. Jika seruan keras Abduh untuk ijtihad - untuk menafsirkan kembali Islam agar memiliki vitalitas baru - dapat diartikan sebagai adopsi total model Barat untuk ilmu pengetahuan, maka Ridha tampak lebih berhati-hati dengan menyarankan dibuatnya suatu kriteria pembaruan Islam untuk menyeleksi bagian-bagian yang akan diadopsi. Namun, sama seperti Abduh, dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi ia menyeru agar kaum Muslim mempelajari ilmu pengetahuan maupun ketrampilan teknik Barat. Bagi Abduh dan Ridha, ilmu pengetahuan modern sendiri adalah baik, yang menjadi masalah adalah tujuan penggunaannya.

Selain kedua figur itu, ada Thaha Husayn (1889-1971), seorang sejarawan dan filosof, yang amat mendukung gagasan yang mulai dilancarkan oleh Muhammad Ali di awal abad. Husayn adalah pembela gigih modernisme dan saintisme. Adopsi terhadap ilmu pengetahuan modern bukan saja penting demi nilai praktisnya, tetapi juga sebagai perwujudan kebudayaan. Inilah pandangan sekularis sejati yang meminggirkan peran agama, dan mengunggulkan positivisme ilmu pengetahuan. Meskipun kontroversial, gagasan ini mendapat dukungan yang kuat di dunia Arab, khususnya di kalangan intelektual Kristen.

Untuk menunjukkan hal ini, perlu disebut di sini satu fenomena penting di dunia Arab pada awal abad ini, yaitu perdebatan yang amat marak tentang Darwinisme. Debat itu dipicu oleh tulisan Syibli Syumayyil (1853-1917), seorang Kristen dari Suriah yang hidup dalam pengasingan di Mesir, yang membela Darwinisme. Tulisan ini disambut para ulama dengan pernyataan bahwa menerima teori Darwin sama dengan menolak Tuhan dan pandangan al-Qur'an tentang penciptaan. Beberapa pemikir lain - Muslim maupun Kristen - tampil membela Syumayyil.

Debat historis ini dibukukan oleh Adel A. Ziadat dalam Western Science in The Arab World: The Impact of Darwinism, 1860-1930 (Ilmu Pengetahuan Barat di Dunia Arab: Dampak Darwinisme, 1860-1930), diterbitkan tahun 1986. Kesimpulan Ziadat, bahwa agama para penulis dalam debat itu tak terlalu penting. Debat itu terutama mempolarisasikan pemikir "religius" dengan "sekularis" secara hitam-putih. Dalam rangka itu, Thaha H., misalnya, sering dituduh keluar dari Islam. Untuk selanjutnya, perdebatan di sekitar teori Darwin dan Darwinisme kerap muncul di banyak negara Muslim hingga beberapa dasawarsa terakhir.

Kebanyakan pemikir Muslim tidak mengambil sikap "religius" atau "sekularis" seekstrem itu. Yang tampak tetap dominan di dunia Arab adalah gagasan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi Barat harus dikuasai, dan bahwa itu tak bertentangan dengan ajaran Islam. Ini tampak hingga pada beberapa tokoh ulama kontemporer seperti Sayyid Qutb dan Yusuf al-Qardhawi. Qardhawi, ideolog Ikhwanul Muslimin, menekankan perbedaan modernisasi dan pembaratan. Jika modernisasi tak berarti pembaratan, dan terbatas pada pemanfaatan ilmu pengetahuan modern dan penerapan teknologinya, maka Islam tak menolaknya.

Pandangan Qardhawi ini cukup mewakili pandangan mayoritas Muslim. Secara umum, dunia Islam relatif terbuka untuk menerima ilmu pengetahuan dan teknologi sejauh memperhitungkan manfaat praktisnya. Pandangan instrumentalis ini kelak terbukti tetap bertahan, hingga kini, di kalangan masyarakat Muslim. Tetapi di kalangan pemikir yang mempelajari sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan, gagasan seperti ini tak cukup memuaskan mereka.

India: Sir Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Iqbal

Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) adalah pemikir yang paling menonjol yang menyerukan "saintifikasi" masyarakat Muslim. Seperti halnya dengan al-Afghani, ia menyerukan Muslim untuk meraih ilmu pengetahuan modern. Tetapi lebih jauh dari al-Afghani ia melihat adanya "kekuatan yang membebaskan" dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Di antara "kekuatan pembebas" itu adalah penjelasan peristiwa dengan sebab-sebab terdekatnya, yang bersifat fisik-materiil. Di Barat nilai-nilai ini telah membebaskan orang dari takhayul dan cengkeraman kekuasaan Gereja. Kini, dengan semangat yang sama, Ahmad Khan merasa wajib "membebaskan" Muslim dengan melenyapkan unsur supranatural - yang "tak ilmiah" - dari al-Qur'an. Ia amat serius dengan upayanya ini, hingga menciptakan sendiri metode penafsiran al-Qur'an baru. Hasilnya adalah "teologi baru" yang memiliki karakter "ilmiah".

Generasi setelah Sir Sayyid, di awal abad ke-20, adalah Mohammad Iqbal (1877-1938), salah seorang Muslim pertama di anak benua India yang sempat mengkaji pemikiran Barat modern dan mempunyai akses yang mendalam pada tradisi intelektual Islam. Kedua hal inilah yang muncul dari karya utamanya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Pembangunan Kembali Pemikiran Keagamaan dalam Islam) diterbitkan tahun 1930. Dengan penggunaan istilah reconstruction (pembangunan kembali) tujuan utama Iqbal telah tergambar. Reconstruction berarti mengungkapkan kembali pemikiran keagamaan Islam dalam bahasa modern, untuk konsumsi generasi baru Muslim yang telah berkenalan dengan perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan dan filsafat Barat abad ke-20. "Bahasa modern" pun berarti bahasa konseptual yang terbentuk akibat perkembangan tersebut.

Kepeduliannya sama dengan pendahulunya, Sir Sayyid, karena keduanya menghadapi masalah yang sama. Tetapi sementara Sir Sayyid mengupayakan pemecahan apologetis - dengan menunjukkan kesesuaian ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan dan filsafat modern, hingga ke tingkat perumusan ulang teologi Islam - Iqbal bergerak lebih jauh. Ia menerima ilmu pengetahuan modern lebih dari sekadar sebagai alat, tanpa merasa harus menerima nilai-nilai Barat.

Ia menunjukkan bahwa kesesuaian agama, khususnya Islam, dengan ilmu pengetahuan tak hanya ada pada permukaan dan tak pula hanya menyangkut penemuan mutakhir ilmu pengetahuan. Aaktivitas ilmuwan adalah sebentuk ibadah. Karena itulah sampai tingkat tertentu, ilmu pengetahuan memiliki tujuan yang sama dengan agama, yakni pencapaian Kenyataan Sejati. Baginya ruh Islam yang anti-klasik - yang menekankan pada hal-hal yang kongkrit, seperti yang tampak dalam revolusi intelektual melawan tradisi abstrak Yunani di masa awal perkembangan filsafat Islam - adalah serupa dengan ruh yang melahirkan ilmu pengetahuan modern. Namun, meskipun bertujuan sama, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan struktur sesuatu, dan tak mampu berbicara tentang hakikat akhir dari segala sesuatu yang memiliki struktur itu.

Untuk itu, teori ilmu pengetahuan perlu ditafsirkan untuk membantu menjelaskan gagasan filosofis yang berbicara tentang Kenyataan Sejati. Sementara ilmu pengetahuan sendiri, dalam anggapan Iqbal, yang bertentangan dengan kecenderungan banyak ilmuwan modern, tak dapat menciptakan teori yang selengkapnya menggambarkan realitas. Ini karena ilmu pengetahuan adalah "kumpulan pandangan yang sepotong-sepotong tentang realitas."

Tak berhenti di sini, Iqbal menunjukkan penguasaannya atas teori-teori fisika mutakhir masa itu dengan menunjukkan bagaimana pandangan ilmuwan seperti Einstein dan Heisenberg mesti ditafsirkan untuk mendapat gambaran utuh tentang realitas. Tujuan akhirnya, membangun suatu teologi rasional yang memanfaatkan temuan ilmu pengetahuan tentang realitas alam.

Iqbal tidak menganggap ilmu pengetahuan (modern) sebagai sesuatu yang asing bagi Islam. Seringkali ia menyebutnya sebagai "ilmu manusia". Artinya, ilmu pengetahuan adalah universal dan milik umat manusia. Semua masyarakat memiliki sumbangannya masing-masing. Dalam pencarian kebenaran, setiap orang memiliki tujuan yang sama, dan menghadapi masalah yang sama. Dalam kasus peradaban Barat, Eropa telah belajar dari Islam banyak hal yang membantunya menjadi "peradaban modern". Maka kini bukanlah aib jika Muslim belajar dari Eropa. Sebelumnya, Muslim juga belajar dari peradaban Yunani , Persia , dan India . Bahwa pada akhirnya arah sejarah intelektual Muslim berbeda dengan mereka membuktikan bahwa sikap kritis masih dapat dipertahankan. Hal yang sama seharusnya terjadi saat ini.

Meski beberapa pandangannya dapat dianggap sebagai dasar bagi suatu epistemologi Islam kontemporer, namun dengan itu ia tak berniat menciptakan suatu "ilmu pengetahuan Islam", yang menjadi kecenderungan beberapa dasawarsa sesudahnya.

Iran : Dari Bazargan Hingga Soroush

Sebagaimana di banyak bagian dunia Islam lainnya, gagasan Jamaluddin al-Afghani cukup berpengaruh di Iran . Dalam hal respons terhadap kemodernan, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, gagasan-gagasan al-Afghani digemakan kembali oleh beberapa pemikir Muslim Iran.

Salah seorang pemikir Iran abad ke-20 awal adalah Mahdi Bazargan (l. 1904), yang lahir sekitar 10 tahun setelah wafatnya al-Afghani. Setelah pecah Revolusi Islam 1979, Bazargan menjadi perdana menteri yang pertama. Namun sesungguhnya, sebelumnya ia adalah seorang ilmuwan, bukan politikus. Pada dasawarsa awal abad ke-20 di Iran, pandangan yang berkembang serupa dengan di dunia Islam umumnya, yaitu bahwa hasil-hasil temuan dan penerapan ilmu pengetahuan tak bertentangan dengan Islam, tetapi justru diperlukan untuk membuat masyarakat Islam tak ketinggalan. Bazargan berusaha memberikan penegasan bahwa yang tak bertentangan dengan Islam adalah ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai instrumen, sementara Islam dianggap sebagai jalan penyelamatan spiritual. Banyak hasil temuan ilmu pengetahuan telah diisyaratkan dalam al-Qur'an. Hal terpenting yang dikemukakan Bazargan adalah bahwa seorang Muslim dapat tetap setia kepada agamanya, dan pada saat yang sama mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Periode berikutnya ditandai dengan munculnya Ali Syari'ati (1933-1977) dan Murtadha Mutahhari (1920-1979). Keduanya adalah pemikir terpenting Iran di zaman modern. Sebagai ideolog, tema terpenting Syari'ati adalah "kembali ke jati diri yang sebenarnya," sementara Mutahhari, sebagai seorang mullah yang cukup akrab dengan berbagai pemikiran Barat modern, berusaha secara sistematis membangun pandangan dunia Islam. Gagasan keduanya tak terkesan bersifat apologetis terhadap perkembangan modern, namun sikapnya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi Barat masih berpusat di sekitar penekanan bahwa keduanya tak bertentangan dengan Islam, dan memiliki wilayahnya masing-masing.

Perbedaan mereka dari para pemikir Muslim apologetis pada periode sebelumnya adalah bahwa pembedaan mereka membedakan ilmu pengetahuan sebagai instrumen dengan "saintisme" atau ilmu pengetahuan sebagai ideologi atau pandangan dunia. Dengan argumen-argumen yang cukup kuat, dan mengambil manfaat dari kritik-kritik pemikir Barat sendiri terhadap "saintisme", mereka berusaha menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan harus dikembangkan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan Islam. Dari sudut pandang ini, Mutahhari mengajukan ketaksetujuannya terhadap pembagian ilmu-ilmu keagamaan dan non-keagamaan. Baginya, sejauh suatu ilmu - termasuk ilmu pengetahuan modern - dikembangkan untuk tujuan kesejahteraan masyarakat Islam, maka disebut ilmu keagamaan. Di sini muncul gagasan yang serupa dengan Iqbal, bahwa pengkajian ilmu pengetahuan dapat menjadi sebentuk ibadah.

Setelah Revolusi Islam 1979, tuntutan-tuntutan praktis muncul dan pembicaraan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi relatif bergeser dari pembacaraan teoretis tentang hubungan agama dengan ilmu pengetahuan menjadi sejauh mana alih ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan negara pascarevolusi itu. Namun yang pertama tak hilang sama sekali, bahkan hingga tingkat tertentu menjadi latar belakang untuk yang kedua.

Salah seorang pemikir terpenting Iran di masa ini yang memiliki perhatian besar terhadap masalah ilmu pengetahuan modern adalah Abdulkarim Surush (lahir 1945). Sebelum kembali ke Iran setelah Revolusi Islam, Surush secara khusus mempelajari filsafat ilmu pengetahuan di Inggris. Dalam banyak hal gagasannya adalah kelanjutan dari gagasan Syari'ati dan Mutahhari. Namun latar belakang akademisnya dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan memperkayanya dengan beberapa detil aspek ilmu pengetahuan modern, dan dengan demikian mempertajam gagasannya.

Gagasan terpenting Surush, yang dikemukakannya dalam bahasa filsafat kontemporer, adalah pembedaan yang populer antara fakta dan nilai, dan antara tujuan dan cara. Ini membawanya pada pembedaan fundamental antara hasil-hasil praktis ilmu pengetahuan (teori ilmu pengetahuan dan teknologi) dengan ilmu pengetahuan yang diajukan sebagai alternatif pandangan dunia. Menafikan pembedaan itu berati menurunkan nilai dari fakta, apa yang seharusnya dari apa yang terjadi, atau, etika dari ilmu pengetahuan. Contoh yang dibahasnya secara mendalam adalah teori evolusi Darwin . Ia menerima penjelasan Darwin tentang evolusi material yang terjadi pada makhluk hidup, namun menolak evolusi sebagai prinsip etika perkembangan masyarakat.

Setelah pembedaan, yang mesti dilakukan adalah pemilihan. Bagi Surush, "Barat" bukanlah sebuah totalitas yang unik. Beberapa bagian dari peradaban Barat dapat diambil, tanpa harus menerima bagian-bagian lainnya. Ilmu pengetahuan dapat dialihkan tanpa harus menjadi sekuler.

Dalam prakteknya, gagasan yang berkesinambungan mulai dari Bazargan hingga Surush ini secara tak langsung diterjemahkan dalam kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi Republik Islam Iran. Meski sempat mendapat tentangan dari sebagian kecil ulama, pandangan yang umum diterima adalah bahwa negara membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dan bahwa keduanya dapat diimpor dan lalu dikembangkan sendiri di dalam negeri, tanpa harus mengingkari ajaran Islam. Karena, ilmu pengetahuan berfungsi lebih sebagai instrumen untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Sekali lagi, pandangan instrumentalis mendapat tempat di sini.

Abdus Salam

Seorang tokoh dunia Islam yang harus disebut secara khusus adalah Abdus Salam (1926-1996), seorang fisikiwan asal Pakistan, karena dialah praktisi ilmuwan Muslim terpenting di abad ini. Sebagai ilmuwan, ia adalah satu-satunya Muslim yang mendapat penghargaan Nobel (pada 1979 di bidang fisika). Namun, nilai penting Abdus Salam melampaui penguasaannya atas perkembangan mutakhir fisika kontemporer.

Salam amat dikenal sebagai pejuang ilmu pengetahuan, tak hanya di dunia Islam, namun di dunia ketiga umumnya. Sejarah hidupnya sendiri mengajarkan kepadanya betapa riset murni di bidang ilmu pengetahuan belum mendapat tempat dalam kesadaran akademis. Karena itulah ia terpaksa pindah, dan lalu bermukim di Eropa, yang memberinya tempat untuk terus menghidupkan ilmunya. Kesempatan inilah yang membawanya menjadi pemenang Nobel (bersama Steven Weinberg dan Lee Glashow).

Keprihatinannya atas nasib ilmu pengetahuan di dunia ketiga diungkapkannya dalam pendirian dua lembaga penting, yaitu International Centre for Theoretical Physics (Pusat Internasional bagi Fisika Teoritis) dan Third World Academy of Science (Akademi Dunia Ketiga untuk Ilmu Pengetahuan), di Italia. Dengan mengadakan lokakarya dan seminar rutin yang membahas perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan, kedua lembaga ini telah memberikan peluang kepada banyak ilmuwan dunia ketiga - banyak di antaranya Muslim - untuk terus mengembangkan ilmunya, hingga kini.

Di luar bidang fisika, gagasan yang terus-menerus dikemukakannya adalah tentang mutlak perlunya dunia ketiga mengembangkan riset ilmu pengetahuan murni, untuk mengatasi keterbelakangannya dibanding negara-negara maju. Gagasan lainnya berkaitan dengan hubungan ilmu pengetahuan dengan agama, khususnya Islam.

Fakta bahwa Muslim seperti Salam memperoleh Nobel bersama dua fisikawan lainnya - yang non-Muslim - sering diajukan oleh sebagian pemikir Muslim sebagai isyarat netralitas ilmu pengetahuan: bahwa dua orang dari latar belakang nilai-nilai agama yang berbeda dapat bekerja sama untuk menghasilkan satu teori fisika. Salam sendiri, jelas mendukung gagasan netralitas ilmu pengetahuan.

Ia sering mengungkapkan keyakinannya bahwa kerjanya dalam ilmu pengetahuan memiliki landasan normatif yang cukup kuat dalam al-Qur'an. Beberapa artikel pendek yang ditulisnya mengangkat tema tak adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan dengan iman, khususnya Islam. Dengan penguasaannya atas teori-teori astro-fisika mutakhir ia bahkan berusaha menunjukkan kesesuaian ilmu pengetahuan dengan agama dalam, misalnya, pandangan tentang asal usul alam semesta. Melalui agama kita telah lama tahu bahwa semesta diciptakan dari ketiadaan, dan ilmu pengetahuan kontemporer memberikan verifikasi empiris atas pandangan ini.

Yang juga cukup menarik, dalam argumennya ia sempat pula menyebut ahli bedah Perancis Maurice Bucaille. Melalui kajiannya dalam bidang kedokteran, dalam karya utamanya, La Bible, le Coran et la science (Alkitab, Al-Qur'an, dan Ilmu Pengetahuan) diterbitkan tahun 1976, yang telah diterjemahkan ke hampir semua bahasa Islam (Arab, Persia, Turki, Urdu dan Indonesia), Bucaille mengajukan premis serupa, bahwa tak ada satu ayat pun dalam al-Qur'an yang bertentangan dengan temuan ilmu pengetahuan. Rujukan kepada Bucaille menegaskan sikap Salam terhadap ilmu pengetahuan modern. Ia melampaui pandangan seorang instrumentalis dengan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat mencapai kebenaran. Tak cuma itu, kebenaran itu tak bertentangan bahkan memverifikasi kebenaran wahyu.

Selain itu, dalam salah satu tulisannya Salam juga menunjukkan bahwa peradaban Islam menyumbang cukup banyak dalam kelahiran ilmu pengetahuan modern. Metode eksperimental yang menjadi esensi ilmu pengetahuan modern dikembangkan pertama kali oleh al-Biruni dan Ibn al-Haytsam. Dengan ini semua Salam ingin memberikan landasan untuk penerimaan ilmu pengetahuan modern di kalangan masyarakat Muslim. Dari sini ia beranjak ke gagasannya yang lebih penting. Yaitu, bahwa pengembangan ilmu pengetahuan di negara-negara Muslim adalah mutlak, baik ditinjau dari segi ajaran Islam, dari fakta bahwa Muslim sempat menjadi pelopor pengembangan ilmu pengetahuan, juga fakta betapa terbelakangnya Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan yang telah menjadi fondasi bagi tegaknya peradaban modern.

Kajian Akademis atas Sejarah Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Para pemikir dalam wacana pertama tentang ilmu pengetahuan dan Islam yang disebut di atas umumnya tak menaruh perhatian serius pada pengkajian sejarah ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam maupun filsafat ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat sejak akhir abad ke-19 - dan inilah salah satu ciri pembeda dengan para pemikir pada wacana kedua. Yang dapat dikecualikan dari pernyataan ini mungkin hanya Iqbal dan Surush. Keduanya mempelajari filsafat secara langsung di Eropa.

Khusus mengenai sejarah ilmu pengetahuan, di masa Iqbal belum tampak pengkajian yang serius. Ketika itu kajian tentang al-Biruni, Ibn Sina, Thusi, Ibn al-Haytham masih amat langka. Manuskrip yang telah berusia beberapa abad baru mulai digali dari perpustakaan. Sesungguhnya, dalam salah satu esai pendeknya, "A Plea for A Deeper Study of Muslim Scientists" (Imbauan bagi Kajian Lebih Dalam Mengenai Ilmuwan Muslim), Iqbal pernah secara khusus berbicara tentang hal ini. Ia menyeru kepada Muslim sezamannya untuk secara serius mempelajari karya-karya ilmuwan Muslim terdahulu. Dalam esai itu ia memberikan beberapa contoh tentang betapa majunya pikiran para ilmuwan Muslim di zamannya. Beberapa di antaranya bahkan telah mengantisipasi temuan-temuan mutakhir ilmu pengetahuan yang revolusioner.

Saat ini, kerja beberapa dasawarsa penelitian manuskrip-manuskrip kuno itu telah mulai membuahkan hasilnya. Hasil-hasil pengkajian itu telah membantu banyak untuk memberi gambaran tentang bagaimana "ilmu pengetahuan" - yang berdasarkan temuan-temuan itu pendefinisiannya sebagai sesuatu yang universal terjadi, baik di peradaban Barat maupun Islam, masih dapat dipertanyakan - berkembang dalam tradisi Islam. Salah satu paparan modern pertama adalah karya monumental George Sarton, Introduction to the History of Science (Pengantar Sejarah Ilmu Pengetahuan) terbit tahun 1927. Dalam salah satu jilid karya itu terdapat beberapa bab yang dikhususkannya untuk membahas ilmuwan Muslim seperti al-Biruni, Ibn Haytsam, dan sebagainya. Lalu karya Fuat Sezgin yang belum selesai, Geschichte des Arabischen Schriftums (Sejarah Khazanah Penulisan Arab), yang menyurvei tak kurang dari 1,5 juta manuskrip berbahasa Arab, telah mampu menampilkan nama-nama ilmuwan Muslim berserta karyanya serta ruang lingkup pengkajian mereka yang amat luas.

Di samping karya-karya survei seperti itu, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini telah cukup banyak pula karya-karya ilmuwan Muslim di masa awal peradaban Islam yang diterjemahkan, terutama ke dalam bahasa Inggris. Ini memungkinkan lebih banyak peneliti sejarah ilmu pengetahuan Islam yang tak akrab dengan bahasa mereka untuk memperoleh gambaran yang lebih baik tentang ilmu pengetahuan Islam.

Berkat karya-karya perintis itulah, belakangan ini muncul beberapa karya cemerlang - sebagian besarnya dalam bentuk artikel di jurnal-jurnal ilmiah - baik yang ditulis Muslim maupun non-Muslim. Dengan itu kini telah terbentuk gambaran yang lebih baik tentang dinamika perkembangan "ilmu pengetahuan" dalam tradisi intelektual Islam; tentang bagaimana para ilmuwan zaman itu mengasimilasi karya-karya ilmiah Yunani; bagaimana konflik dengan beberapa pandangan Islam diselesaikan; dan sebagainya.

Beberapa sarjana terkemuka yang bisa disebut di sini adalah Aydin Sayili, asal Turki, yang meneliti sejarah astronomi dan astrologi; A.I. Sabra, profesor bidang sejarah ilmu pengetahuan dari Universitas Harvard, yang menulis tentang pola-pola perjumpaan ilmu-ilmu yang dikembangkan oleh Muslim sendiri dengan warisan dari peradaban lain, khususnya Yunani; Ignaz Goldziher, tentang pertentangan ilmu-ilmu asli Arab-Islam dengan ilmu-ilmu hasil adopsi dari peradaban-peradaban non-Islam; Ahmad Hassan dan Donald Hill yang menulis sebuah buku tentang sejarah teknologi dalam Islam; D.A. King tentang perkembangan matematika, dan banyak lagi lainnya.

Selain pengkajian atas beberapa disiplin tersebut, telah mulai pula muncul kajian sistematis tentang pola perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam. Salah satu persoalan yang amat mendapat perhatian adalah tentang sebab-sebab kemerosotan ilmu pengetahuan dalam Islam. Dalam tahap awalnya saat ini, analisis historis tersebut masih terbatas dalam lingkungan akademis sejarawan ilmu pengetahuan. Jika ini telah tersosialisasi dalam lingkungan yang lebih luas, tentu akan menjadi amat penting dalam setiap pembicaraan tentang upaya pembangkitan kembali ilmu pengetahuan di dunia Islam.

Wacana Baru: Islamisasi Ilmu pengetahuan

Setidaknya sejak dasawarsa 1970-an hingga sekitar awal 1990-an, berkembang sebuah wacana baru tentang Islam dan ilmu pengetahuan, dengan munculnya gagasan Islamic science (ilmu pengetahuan Islam) atau Islamization of knowledge (islamisasi ilmu). Terlepas dari siapa yang pertama menggunakan istilah ini, dalam kenyataannya ada cukup beragam (kelompok) pemikir Muslim yang memaknai istilah ini dengan berbeda-beda - dan tak jarang terdapat pertentangan di antara ragam pendapat itu.

Karena yang lebih populer adalah istilah dalam bahasa Inggris itu, ada beberapa hal penting dan menarik untuk dicatat sehubungan dengan penggunaan kata "ilmu pengetahuan" atau "sains", "islamisasi", dan kata Islamic dalam Islamic science.

Pertama, perkembangan berbagai istilah ini menunjukkan betapa seriusnya tantangan yang dihadapkan ilmu pengetahuan modern kepada perkembangan intelektual Islam. Seperti telah dipaparkan di atas, sebetulnya ini telah mulai sejak akhir abad ke-19. Namun, tak efektifnya usaha mengejar ketertinggalan Muslim dari Barat di masa-masa sebelumnya telah mengkristal menjadi "gerakan" dengan orientasi baru ini. Pada beberapa kelompok, kedua istilah baru ini, Islamic science dan Islamization of knowledge nyatanya tampak hanya sekadar menjadi baju baru dari usaha yang telah dilakukan beberapa pemikir di masa-masa sebelumnya - terkadang dengan lebih efektif.

Istilah "sains" (science) sendiri baru mendapatkan maknanya yang khas dalam perkembangan kegiatan ilmiah di dunia Barat sejak beberapa abad. Di sana "sains" dianggap sebagai model cabang ilmu yang paling unggul, karena perkembangannya yang paling pesat dibandingkan cabang-cabang ilmu lain. Adalah anggapan tersebut yang melatarbelakangi kebiasaan bahasa Inggris modern - berbeda dengan kebanyakan bahasa lain - untuk membedakan science, sebagai istilah yang dipakai untuk ilmu pengetahuan alam atau "eksakta" ("pasti"), dari berbagai cabang ilmu pengetahuan lain, terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Itulah sebabnya berkembang istilah seperti Islamic science dan terjemahan science dan Islamic science oleh sejumlah orang Indonesia dan Malaysia dengan "sains" dan "sains Islam". Namun, karena istilah "sains" merupakan alih istilah dari bahasa Inggris, dan alih peristilahan yang berdasarkan suatu pembedaan antara cabang ilmu pengetahuan yang "eksakta" dan yang "kurang eksakta", yang telah sering dipermasalahkan, artikel ini lebih menggunakan istilah "ilmu pengetahuan" daripada "sains". Perlu ditambahkan bahwa wacana "islamisasi ilmu" dan "ilmu pengetahuan islam" terpusat pada ilmu pengetahuan alam, walaupun tidak terbatas padanya.

Perkembangan teknologi sebagai buah dari perkembangan ilmu pengetahuan ini juga amat memukau banyak orang, tak terkecuali Muslim. Sebagai akibat, sebagian ilmuwan Muslim hanya berusaha mengejar ketertinggalan umat Islam dengan mengambil alih secara menyeluruh teknologi dan ilmu pengetahuan Barat modern. Namun, sebagian lain tidak puas dengan sikap itu dan menuntut "islamisasi" ilmu pengetahuan atau pengembangan "ilmu pengetahuan Islam". Para penggagas ilmu pengetahuan Islam atau islamisasi memulai argumennya dari premis bahwa ilmu pengetahuan tak bebas nilai. Karena itulah nilai-nilai sebuah agama dapat masuk dalam pembicaraan tentang ilmu pengetahuan. Maka wajar pula jika serangan terhadap gagasan ini biasanya berupa upaya mempertahankan premis penting itu. Dan ini biasanya datang dari Muslim praktisi ilmu pengetahuan seperti Abdus Salam.

Jelas bahwa "ilmu pengetahuan Islam" adalah sebuah istilah modern. Kita tak bisa menemukan padanan istilah ini dalam literatur Islam klasik, termasuk dalam masa yang disebut "Zaman Keemasan" Islam. Bahkan, bisa jadi istilah ini digunakan pertama kali oleh kaum orientalis ketika kajian-kajian orientalisme modern dimulai akhir abad yang lalu. Pada tahun 1920-an, misalnya, sejarawan ilmu pengetahuan George Sarton dalam karya monumentalnya menggunakan istilah ini untuk menyebut sebuah periode dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan ketika dengan dukungan penguasa, para ilmuwan Muslim (dan, sebagian kecilnya, non-muslim) menghasilkan karya-karya besar dalam bidang ilmu pengetahuan. Orientalis George Anawati bahkan menyebutkan adanya upaya-upaya "islamisasi" cabang-cabang ilmu yang diperoleh terutama dari tradisi Yunani itu. Ia juga menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan alam adalah bidang yang paling sedikit terkena islamisasi dibandingkan dengan, misalnya, metafisika.

Jadi, di sini istilah "Islam(i)" digunakan untuk menyebut dua hal sekaligus: yang pertama adalah suatu periode sejarah, sebagaimana istilah "modern", "abad pertengahan", "klasik" atau "Yunani" digunakan; yang kedua, suatu aktivitas yang disusupi nilai-nilai Islam. Kedua makna ini kerap muncul dalam perbincangan kontemporer tentang ilmu pengetahuan modern dan Islam.

Empat pemikir muslim kontemporer yang dapat mewakili wacana baru ini adalah Syed Hossein Nasr, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, dan Ziauddin Sardar. Bukanlah suatu kebetulan jika keempatnya terdidik di universitas-universitas Amerika dan Eropa dan terutama menulis dalam bahasa Inggris. Wacana baru ini memang berkembang terutama di kalangan komunitas intelektual Islam berbahasa Inggris, yang baru muncul secara jelas setelah paruh pertama abad ke-20 ini.

Syed Hossein Nasr

Tokoh pertama yang mesti disebut dalam membicarakan wacana baru tentang ilmu pengetahuan dan Islam itu adalah Seyyed Hossein Nasr (l. 1933). Lahir di Iran, ia melanjutkan pendidikan tingginya di Massachusetts Institute of Technology (MIT) di bidang Fisika, dan kemudian di Harvard University, di bidang sejarah ilmu pengetahuan. Dialah salah seorang yang pertama kali menulis buku sejarah ilmu pengetahuan di zaman Islam (Science and Civilization in Islam [Ilmu Pengetahuan dan Peradaban dalam Islam], 1968) secara cukup komprehensif, meskipun mengundang banyak kritik, terutama dari kalangan orientalis pengkaji sejarah ilmu pengetahuan.

Nasr menggunakan istilah "ilmu pengetahuan Islam" sebagai sistem ilmu pengetahuan yang secara amat kental disusupi oleh metafisika Islam. Namun semangat tingginya sebagai seorang tradisionalis menjadikan apa yang ada dalam sejarah sebagai model ideal bagi "ilmu pengetahuan Islam", yang baginya masih hidup hingga kini dan mesti dilestarikan. Secara eksplisit ia menyatakan bahwa jika ia menyebut "ilmu pengetahuan Islam" dan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan Islam masih hidup hingga kini, maka yang dimaksudkannya adalah suatu sistem ilmu pengetahuan yang berkembang di zaman jaya peradaban Islam, dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn Sina, Al-Biruni, Nasiruddin al-Thusi, dan sebagainya.

Pengertian ilmu pengetahuan pada Nasr berbeda amat jauh dengan ilmu pengetahuan sebagaimana yang lazim dipahami kini. Sebagai contoh, ia biasa menggunakan istilah scientia sacra (sacred science, ilmu sakral) untuk menunjukkan bahwa seharusnya aspek kearifan jauh lebih penting dalam ilmu pengetahuan daripada aspek teknologinya, yang menjadi ciri utama ilmu pengetahuan modern. Ia tampaknya secara sengaja bertahan menggunakan kata "ilmu pengetahuan" justru untuk menunjukkan betapa jauhnya ilmu pengetahuan modern kini telah menyimpang dari apa yang sesungguhnya disebut ilmu pengetahuan pada mulanya.

Lebih jauh, ia kerap mengkritik keras kaum modernis, yang muncul sejak akhir abad ke-19, yang berusaha merekonstruksi pemikiran Islam agar sesuai dengan zaman modern. Menurutnya, kaum modernis itu justru telah mendistorsi tradisi intelektual Islam, semata-mata agar tampak tak "tertinggal" dibanding negara-negara Barat, padahal, di balik "kemajuan" dunia modern itu, ada kemunduran yang amat nyata, terutama dalam bidang spiritual. Distorsi besar lain adalah penerjemahan kata 'ilm yang khas Islam menjadi science dalam makna modernnya. Istilah science untuk menyebut ilmu-ilmu eksperimental, dan sebagai pembeda dari filsafat yang dianggap terlalu spekulatif, baru muncul pada abad ke-19. Sementara 'ilm, yang mensyaratkan kepastian (certainty), mencakup beragam jenis ilmu dan beragam metode pencapaiannya.

Sebagai seorang tradisionalis Nasr memandang perkembangan teknologi modern yang pesat dengan pesimis. Ia terutama menyoroti kerusakan lingkungan, yang terjadi mengerikan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Sumber ini semua adalah teknologi yang dirancang semata-mata dengan memperhatikan nilai-nilai dunia modern - seperti efisiensi, efektivitas, nilai ekonomis - tanpa memperhatikan kebutuhan manusia, jasmaniah maupun ruhaniah, dan tanpa memperhatikan hubungan ruhaniah antara manusia dengan bumi dan makhluk-makhluk lainnya.

Dalam karyanya yang lebih belakangan, seperti Knowledge and The Sacred (Pengetahuan dan yang Sakral) terbit tahun 1989 dan The Need for Sacred Science (Kebutuhan akan Ilmu Pengetahuan Sakral) terbit tahun 1993, selalu muncul kembali tema keprihatinannya terhadap kenyataan betapa sulitnya manusia modern mengapresiasi hal-hal yang sakral (the sacred). Dalam karya itu terungkap pula harapannya untuk membangkitkan kembali scientia sacra. Dalam hal ini ia bergerak cukup jauh hingga, misalnya, mempertimbangkan kembali alkemi, yang dimaknainya bukan sebagai pendahulu ilmu kimia dalam tahapnya yang masih amat tradisional (bersifat mistis), namun sebagai semacam jalan ruhaniah yang dipilih para ilmuwan itu. Sementara cabang ilmu pengetahuan seperti botani, misalnya, dimaknai sebagai "kajian atas sifat-sifat batin tanaman, termasuk makna spiritual dan simbolisnya dalam kosmos." Dalam semua hal di atas - baik kritiknya terhadap kemodernan maupun mistisisme sebagai jalan keluarnya - Nasr amat dipengaruhi dua tokoh terbesar filsafat perenial di zaman ini, yaitu Rene Guenon dan Frithjof Schuon.

Dalam membicarakan sejarah ilmu pengetahuan Islam, kecenderungan mistis ini juga tampak amat kuat. Nasr memandang bahwa ada satu semangat yang selalu hadir dalam perkembangan beragam cabang ilmu pengetahuan dalam Islam, yaitu keyakinan pada tauhid (khususnya dalam penafsiran mistisnya). Karyanya yang terutama ditujukan untuk menunjukkan hal ini adalah An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines. Conceptions of Nature and Methods Used for its study by the Ikhwan al-Safa, al-Biruni, and Ibn Sina. (Pengantar Doktrin-doktrin Kosmologis Islam. Pandangan Alam dan Metode yang Digunakan untuk Mengkajinya Ikhwan al-Safa, al-Biruni, dan Ibn Sina, 1964) dan Science and Civilization in Islam (Ilmu Pengetahuan dan Peradaban dalam Islam, 1968), yang berasal dari disertasi doktornya di Harvard. Karya tersebut sebenarnya termasuk dalam disiplin sejarah ilmu pengetahuan, namun amat kental diwarnai (atau ditafsirkan dengan menggunakan) gagasan metafisis-mistis - dan karenanya mendapat kritik tajam dari beberapa sejarawan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini di dunia Islam boleh dikatakan mundur dengan ukuran apa pun, tetapi sebagai gagasan ilmu pengetahuan Islam selalu hidup, dan inilah yang tampaknya diharapkan kebangkitannya oleh Nasr.

Mesti dicatat, bahwa ketika Nasr menyebut "ilmu pengetahuan Islam", itu masih dalam kerangka scientia sacra. Dan dalam kerangka ini, penafsiran mistis-filosofis tentang alam amat mendominasi. Tak cuma itu, dalam bidang matematika sekalipun, ia tampaknya memberikan penekanan yang berlebih pada aspek mistisnya - yang telah ada sejak zaman Yunani. Karena itu, sering kali memang tak tampak perbedaan yang jelas antara mistisisme dan ilmu pengetahuan.

Bersama dengan makin menyebarnya filsafat perennial, pandangan Nasr kini juga dianut banyak pemikir Muslim kontemporer. Ini terutama tampak menonjol di Malaysia, di mana beberapa pemikir muda yang pernah belajar di bawah bimbingannya di AS membentuk semacam kelompok yang menghidupkan diskusi mengenai paham filsafat perennial ini dalam banyak aspeknya.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Tokoh penting lain yang harus disebutkan di sini adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas, ilmuwan Malaysia kelahiran Indonesia . Latar belakang akademis al-Attas adalah kajian sastra dan sejarah Melayu. Namun pemikirannya, dalam bidang sejarah pun, nyaris tak pernah lepas dari pembahasan metafisis atas Islam. Dan salah satu isu terpenting dari metafisika Islam adalah posisi ilmu dan persoalan epistemologi.

Al-Attas melihat bahwa dalam sejarahnya metafisika Islam telah terumuskan dengan baik. Tujuan metafisika adalah penemuan kebenaran. Dan kebenaran tak seharusnya berubah-ubah, karena jika demikian tak lagi dapat disebut kebenaran, tetapi hanya dugaan. Karenanya, sekali suatu metafisika, yang bertujuan menemukan kebenaran, terumuskan dengan memadai, tugas berikutnya bukanlah mencari kebenaran, namun mempertahankannya. Tantangannya di sini adalah dalam soal pengungkapan metafisika itu dalam bahasa zaman yang terus berubah, baik karena soal masa maupun tempat. Ia melihat, metafisika Islam ini berlaku universal di seluruh masyarakat Muslim, dan pada kenyataannya memang telah tersebar ke seluruh wilayah dunia Islam. Di wilayah Melayu, yang menjadi sasaran konsentrasi kajian sejarah al-Attas, metafisika ini pun dalam sejarahnya telah berhasil diungkapkan dengan baik oleh para ulamanya, khususnya Nuruddin al-Raniri (w. 1658) dan Hamzah Fansuri (sekitar akhir abad ke-16). Karenanya, kajian analitis al-Attas atas karya-karya kedua ulama ini, misalnya, sekaligus dapat menjadi medium penjabaran metafisika Islam itu.

Al-Attas melihat bahwa dalam lingkupnya yang lebih sempit, pada tingkat praktis dan empiris, ilmu pengetahuan memiliki tujuan yang sama dengan metafisika. Karenanya ilmu pengetahuan mesti bersumber pada metafisika, yaitu ilmu yang lebih tinggi itu. Maka tak mengherankan jika kajian-kajian al-Attas tentang dua tokoh ulama Melayu di atas berakhir dengan dan memiliki implikasi-implikasi teoretis bagi suatu filsafat ilmu pengetahuan yang islami. Al-Attas memang lebih kerap berbicara tentang filsafat ilmu pengetahuan yang islami daripada "ilmu pengetahuan Islam". Istilah "islamisasi" pun digunakannya secara terbatas, untuk diterapkan secara parsial atas temuan-temuan ilmu pengetahuan kontemporer - meskipun pada mulanya dialah yang pertama kali menggunakan istilah ini dalam maknanya yang dipahami kini.

Bagi al-Attas, pembicaraan tentang ilmu pengetahuan Islam kontemporer atau islamisasi ilmu pengetahuan hanyalah merupakan satu bagian dari agenda permasalahan umat Islam yang lebih besar. Ia melihat masalah terbesar umat Islam saat ini adalah "masalah ilmu"; dan banyak masalah lainnya adalah akibat dari masalah ini. Karenanya yang pertama kali diupayakannya adalah menggali konsep `ilm dari al-Qur'an maupun sumber-sumber klasik Islam. Dengan cara ini, konsep ilmu tersebut akan betul-betul autentik, dan baru dari sini kita dapat berbicara tentang ilmu pengetahuan modern - apakah itu tentang upaya islamisasi atas ilmu pengetahuan modern, ataupun sekadar adopsi, jika memang tak ada keberatan penting. Sementara itu, upaya islamisasi disiplin-disiplin ilmu secara khusus mengandung bahaya bahwa konsep-konsep Islam itu justru akan ditundukkan oleh konsep-konsep yang ada dalam disiplin-disiplin itu.

Mengenai ilmu pengetahuan modern, pendirian al-Attas relatif jauh lebih terbuka dibanding beberapa pemikir lainnya, karena ia menganggap islamisasi ilmu pengetahuan tidaklah berhubungan langsung dengan teori-teori ilmu pengetahuan tertentu. Ini karena sampai tingkat tertentu, temuan ilmu pengetahuan, misalnya teori gravitasi Newton, adalah bebas nilai. Bagaimana dengan pandangan dunia mekanistis yang mendasarinya? Baginya, ketika sampai pada masalah pandangan dunia, tak perlu mencarinya dalam ilmu pengetahuan. Dalam hierarki ilmu-ilmu dalam Islam, pandangan dunia diperoleh dari sumber selain ilmu pengetahuan, dan dengan metode yang berbeda dari metode ilmu pengetahuan. Karena itu, baginya dalam Islam tidak akan terjadi semacam revolusi ala Copernicus, yang sempat menggusarkan Gereja Kristen. Di satu sisi, hasil-hasil praktis ilmu pengetahuan - yang banyak dikritik sebagai sumber krisis global saat ini - dapat segera diadopsi dengan melengkapinya dengan etika. Di sisi lain, menyangkut epistemologi, posisi ilmu pengetahuan modern sebagai sumber pencapaian kebenaran yang paling berwibawa ditolak mentah-mentah.

Yang terutama dikritiknya dalam filsafat ilmu pengetahuan modern adalah pandangannya mengenai sumber-sumber ilmu - yang tak mengakui adanya sumber kebenaran mutlak seperti al-Qur'an dan otoritas - dan metodenya. Sebagai contoh, jika wahyu tak pernah diakui sebagai sumber ilmu, bagaimana mungkin agama dapat hidup? Untuk ini mungkin ada jawaban bahwa bagaimana pun ilmu pengetahuan tak perlu berurusan dengan masalah-masalah yang sifatnya sudah non-empiris. Namun pada kenyataannya ilmu pengetahuan dianggap sebagai cabang ilmu yang paling berwibawa, dan filsafat modern sudah tak mampu lagi mengatasi ilmu pengetahuan sehingga filsafat menjadi sekadar penafsir temuan-temuan ilmu pengetahuan.

Dalam upayanya mengajukan alternatif, al-Attas bergerak lebih jauh dengan menunjukkan secara terinci dasar-dasar penciptaan epistemologi Islam, yang terutama didasarkan pada capaian-capaian filosof Muslim terdahulu. Ini terutama dibahasnya dalam karya terakhirnya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam ( Mukadimah bagi Metafisika Islam, 1995), yang berupaya mengupas asas-asas metafisika dan epistemologi Islam dengan bersandar pada temuan para filosof Muslim itu. Jika semua ini telah terumuskan dengan baik, dan diajarkan kepada individu-individu Muslim sedemikian hingga ilmu ini cukup dihayati, maka islamisasi tak menjadi persoalan lagi, karena akan terjadi secara otomatis melalui diri individu-individu itu. Jadi, "lokus" islamisasi bukanlah displin-disiplin ilmu, namun individu-individu ilmuwannya. Karena itu pula al-Attas memberikan prioritas yang amat tinggi pada pendidikan.

Isma'il Raji al-Faruqi

Pada awalnya Isma'il Raji' al-Faruqi (1921-1986) - yang meninggalkan tanah kelahirannya, Palestina, setelah negara Israel didirikan (1948) - adalah seorang nasionalis Arab yang banyak menulis tentang agama Yahudi dan perbandingan agama. Hingga kini pun, seperti tampak pada banyak artikel di buku, jurnal, ataupun ensiklopedi, yang membahas tentang sumbangan pemikirannya, ia lebih dikenal sebagai seorang pemikir dalam disiplin kajian agama. Karya-karya terpentingnya di sini adalah The Trialogue of Abrahamic Faiths (Perbincangan Tiga Pihak Mengenai Agama-Agama Ibrahim, 1986), Essays in Islamic and Comparative Studies (Esai-Esai dalam Kajian Islam dan Perbandingan, 1982), dan Historical Atlas of the Religions of the World (Atlas Historis Agama-Agama Dunia, 1974), juga Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Tauhid: Implikasi-Implikasinya bagi Pemikiran dan Kehidupan, 1982), di samping beberapa artikel di jurnal kajian agama.

Bukunya yang khusus membahas Islamisasi ilmu adalah Islamization of Knowledge (Islamisasi Ilmu, 1982), dan, sebelumnya, artikel "Islamizing the Social Sciences" (Mengislamkan Ilmu-Ilmu Sosial, 1979). Di buku itu ia secara terinci menggambarkan proyek islamisasi ilmunya, hingga ke rincian langkah-langkah praktisnya.

Al-Faruqi sampai pada kesimpulan tentang perlunya islamisasi setelah menganalisis masalah umat. Dalam setiap bidang, politik, ekonomi, dan budaya, Muslim terpinggirkan, kalah oleh dominasi Barat. Inti masalah ini, menurutnya, adalah sistem pendidikan yang mengasingkan Muslim dari agamanya sendiri dan dari sejarah kegemilangan agamanya yang seharusnya menjadi sumber kebanggaannya.

Solusinya, dengan demikian, adalah membenahi sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang memisahkan antara ilmu agama (madrasah) dan ilmu non-agama (sekolah, universitas) mesti dipadukan kembali. Pada tingkat ini pun Faruqi sudah mulai membayangkan langkah praktis apa yang mesti dilakukan. Ia membayangkan, universitas-universitas di dunia Islam mestinya cukup banyak memberikan pengajaran tentang peradaban Islam. Tujuannya, memunculkan kembali identitas pelajar Muslim.

Selain itu, ada masalah lain. Di universitas negara-negara Muslim, para mahasiswa Muslim diajar capaian-capaian dan persoalan-persoalan non-Muslim, diajari dengan menggunakan buku non-Muslim, untuk mengembangkan cabang ilmu non-Muslim. "Pemuda Muslim dibaratkan oleh dosen-dosen Muslim di universitas-universitas Muslim," tulis al-Faruqi. Di sinilah letak pentingnya islamisasi ilmu. Sampai di sini al-Faruqi menjelaskan arti islamisasi pada tingkat konkretnya sebagai berikut: "islamisasi ilmu adalah islamisasi disiplin-disiplin ilmu, atau tepatnya, memproduksi buku-buku teks universitas yang telah dibentuk kembali menuruti visi Islam, dalam sekitar dua puluh disiplin." Kesederhanaan dan bayangan langkah akhir yang tampak sudah amat jelas dan praktis itu jelas mendukung penerimaan banyak orang terhadap gagasan islamisasi itu.

Selanjutnya, secara terinci proyek islamisasi ilmunya dijabarkan dalam 12 langkah praktis. Pada garis besarnya, program itu diawali dengan dua usaha yang berjalan paralel. Yaitu, penyerapan ilmu-ilmu yang berkembang di Barat, dan pengembangan suatu sistem konseptual yang bersumber pada nilai-nilai dan tradisi keilmuan Islam, sebagai dasar pengembangan ilmu-ilmu yang dibutuhkan Muslim dan kriteria seleksi bagi ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Setelah kedua prasyarat ini dikuasai, yang mesti dilakukan adalah mensintesiskannya. Yaitu, mengembangkan suatu ilmu islami yang merupakan hasil islamisasi ilmu-ilmu modern plus pengembangannya lebih lanjut dalam matriks konseptual islami itu. Kerja berikutnya adalah penyebaran hasil-hasil upaya itu ke seluruh dunia Islam.

Ada dua hal yang penting dicatat di sini. Pertama, proses islamisasi dikenakan secara langsung terhadap disiplin-disiplin ilmu itu sendiri. Kedua, program ini amat pragmatis, dalam artian benar-benar berorientasi kepada kebutuhan untuk menerapkannya dalam masyarakat Muslim. Hal yang kedua ini diterjemahkannya melalui IIIT (International Institute of Islamic Thought; Lembaga Internasional Untuk Pemikiran Islam) dalam sosialisasi kurikulum universitas yang dihasilkan oleh proyek tersebut.

Namun, program yang terkesan sederhana itu, nyatanya tampak menjadi rumit ketika orang harus berhadapan dengan disiplin-disiplin ilmu yang akan diislamisasinya. Apa artinya "membentuk kembali" isi buku teks agar menjadi sesuai dengan visi Islam? Pada beberapa kasus, seperti ditunjukkan oleh beberapa publikasi IIIT, ini bisa berarti hal yang tampak amat tak berarti. Misalnya, menulis "Bismillah" di awal buku teks itu.

Bagaimanapun, dakwah islamisasi al-Faruqi benar-benar mendapat pengikut yang amat banyak. Puluhan buku yang telah diterbitkan IIIT telah mulai mencoba mengambil satu demi satu disiplin yang dikembangkan di Barat dan, dengan segala cara dan daya cipta pelakunya, melakukan islamisasi atasnya.

Ziauddin Sardar

Ziauddin Sardar (l. 1951) adalah doktor di bidang fisika asal Pakistan , yang dibesarkan di Inggris. Sejak awal tahun 1980-an ia cukup rajin menulis di beberapa majalah ilmu pengetahuan terkemuka. Sebagai koresponden Nature, ia pernah berkeliling ke beberapa negara Muslim untuk meneliti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sana , sedangkan tulisan- tulisan awalnya tentang ilmu pengetahuan Islam dipublikasikannya di New Scientist - salah satu di antaranya bahkan pernah menjadi laporan utama majalah bergengsi itu.

Sardar menekankan pembahasannya pada penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islam kontemporer, yaitu sistem ilmu pengetahuan yang sepenuhnya didasarkan pada nilai-nilai Islam. Dibanding Nasr, misalnya, ia tak terlalu menaruh perhatian pada sistem ilmu pengetahuan yang secara aktual dikembangkan pada "Zaman Keemasan" Islam.

Di samping menganjurkan penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islam kontemporer, Sardar juga amat keras mengkritik kelompok-kelompok lain yang tak sejalan dengannya. Ia mengkritik kelompok Muslim yang merasa bahwa dampak negatif ilmu pengetahuan modern dapat diatasi dengan menambahkan etika Islam. Argumen ini menurutnya tak sah, karena dampak ilmu pengetahuan modern juga menyangkut soal kognitif, sehingga perumusan epistemologi Islam juga amat diperlukan. Kelompok lain yang dikritiknya dengan amat keras adalah kelompok yang disebutnya mengembangkan "Bucaillisme" yang diambil dari nama Maurice Bucaille, yang buku-bukunya tentang kesesuaian al-Qur'an dengan temuan kedokteran modern menjadi best-seller di negara-negara Muslim. Praktik seperti ini menurutnya justru amat berbahaya, karena teori-teori ilmu pengetahuan dapat berubah setiap saat, sementara al-Qur'an tak boleh berubah. Dengan kata lain, kesesuaian itu tak dapat menjadi argumen bagi kebenaran al-Qur'an - sesuatu yang justru diupayakan Bucaille dan banyak sarjana Muslim lain. (hlm...dalam artikel "Pemikiran Islam Pasca-1945)

Dalam mengemukakan argumen-argumennya mengenai ilmu pengetahuan Islam, Sardar selalu memulai dengan kritik-kritik amat keras terhadap ilmu pengetahuan modern. Berbeda dengan Nasr yang menggali kritiknya melalui perspektif kaum tradisionalis, Sardar dengan amat baik memanfaatkan kritik-kritik dari kalangan filsuf dan sejarawan ilmu pengetahuan Barat, kaum pemikir environmentalist (pecinta lingkungan), bahkan kelompok radikal kiri di Barat yang marak sejak tahun 1960-an. Kritik-kritiknya ini biasanya berujung pada pernyataan ketaknetralan ilmu pengetahuan modern, dan besarnya pengaruh budaya Barat modern dalam bentuk ilmu pengetahuan itu, serta dalam dampak-dampaknya.

Secara lugas dan sistematis, Sardar mengemukakan empat argumen tentang perlunya ilmu pengetahuan islami. Pertama, bahwa dalam sejarah setiap peradaban besar menciptakan sistem ilmu pengetahuannya yang berbeda-beda; kedua, peradaban Islam pun dalam sejarahnya mengembangkan sistem ilmu pengetahuan yang unik; ketiga, ilmu pengetahuan Barat bersifat destruktif terhadap umat manusia, hingga ke akar-akarnya; keempat, ilmu pengetahuan Barat tak dapat memenuhi kebutuhan material, kultural, dan spiritual masyarakat Muslim. Di titik inilah Sardar masuk untuk menawarkan alternatif Islam. Konsekuensi logis yang dapat ditarik dari kritik-kritiknya itu, adalah bahwa yang diperlukan kini adalah reorientasi radikal ilmu pengetahuan - hingga ke tingkat epistemologi dan pandangan dunianya - untuk diisi dengan nilai-nilai Islam, agar terbentuk suatu ilmu pengetahuan Islam, yang lebih sesuai dengan kebutuhan jasmaniah dan ruhaniah Muslim. Dalam bahasanya sendiri, ini adalah upaya "kontemporerisasi ilmu pengetahuan islam".

Pembicaraan Sardar tentang ilmu pengetahuan Islam ditempatkan dalam konteks upaya pembangunan kembali peradaban Islam dalam segala aspeknya. Pandangan Sardar terhadap peradaban bersifat struktural. Di pusat peradaban ada pandangan dunia, yang tercermin dalam syariah dan epistemologi Islam yang merupakan sumber nilai-nilai bagi seluruh aspek peradaban. Ungkapan eksternal dari keduanya adalah subsistem-subsistem peradaban, seperti politik, ekonomi, juga ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, baginya, berbicara tentang peradaban Islam harus dimulai dari pembicaraan tentang pandangan dunia dan epistemologi itu.

Di sisi lain, hal ini berarti bahwa jika ia menginginkan perubahan mendasar dalam sistem ilmu pengetahuan yang sedang berlaku di dunia ini, itu berarti perubahan hingga ke masalah pandangan dunia, yaitu suatu tatanan konseptual yang dapat berfungsi (workable) dalam melahirkan sistem-sistem sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Malangnya, Sardar melihat hingga kini pandangan dunia Islam yang diinginkannya itu belum terumuskan. Ia sendiri tak pernah beranjak cukup jauh dari sekadar menyarankan perlunya pembangunan kembali peradaban Islam dengan formula teoretis yang ditawarkannya. Dalam hal ilmu pengetahuan, ia tak pernah beranjak cukup jauh dari ideal-ideal "ilmu pengetahuan Islam kontemporer"-nya.

Dalam buku terakhirnya, Exploration in Islamic Science (Penyelidikan Dalam Ilmu Pengetahuan, 1989), Sardar menyebut dirinya dan beberapa rekannya (di antaranya, Munawar Ahmad Anees, Meryl Wynn Davies, dan S. Parvez Mansoor) yang sama-sama bercita-cita menciptakan ilmu pengetahuan Islam kontemporer sebagai kelompok Ijmali (kata yang maknanya bernuansa keindahan, sintesis, dan keseluruhan). Pada awalnya, kelompok ini bergabung dalam majalah bulanan Afkar/Inquiry (terbit di Inggris), yang dikhususkan untuk membahas isu-isu peradaban Islam, khususnya yang menyangkut ilmu pengetahuan dan teknologi.

Exploration bisa dianggap sebagai karya konklusif Sardar yang memuat seluruh perkembangan gagasannya - dengan beberapa argumen dan dukungan data historis baru - tentang ilmu pengetahuan Islam. Tak kurang dari separuh bukunya merupakan usaha memetakan posisi beberapa pemikir Muslim ternama tentang masalah ilmu pengetahuan dan Islam. Di antaranya ia menyebut adanya kecenderungan "Bucaillisme" yang disebut di atas, lalu mazhab Nasr yang amat kental didominasi perspektif mistisisme, kelompok mayoritas Muslim yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan itu netral dan bebas nilai sehingga agenda utamanya adalah bagaimana mengejar ketertinggalan Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua kelompok ini dikritiknya dengan amat keras. Alternatifnya adalah gagasan Sardar dan kelompok Ijmali.

Ilmu pengetahuan Islam kontemporer diajukan Sardar sebagai alternatif terhadap ilmu pengetahuan Barat, tak cuma bagi masyarakat Muslim, tetapi juga sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan yang dapat memperbaiki dan mengubah secara radikal sistem ilmu pengetahuan yang wujud saat ini, yang telah terbukti membawa dampak-dampak negatif luar biasa bagi alam, masyarakat, dan psikologi manusia modern secara global.

Ada delapan tingkat kerja yang diajukannya untuk membangun kembali ilmu pengetahuan Islam: perumusan kembali epistemologi Islam, penyusunan metodologi ilmu pengetahuan yang baru, kajian analitis terhadap sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi Islam, penyusunan kebijakan ilmu pengetahuan di negara-negara Muslim, penelitian empiris, pembangunan lembaga-lembaga riset, pemaduan sistem ini dalam sistem pendidikan, dan penyebaran kesadaran akan masalah-masalah ilmu pengetahuan dalam masyarakat.

Lalu seperti apa bentuk praktis ilmu pengetahuan Islam? Sardar tak pernah mengemukakannya secara lugas. Mungkin ini memang tak berada dalam lingkup pemikirannya. Namun dalam tingkat pandangan dunia dan epistemologi pun ia berhenti dalam pembahasan beberapa nilai-nilai Islam, seperti tauhid, khilafah, halal-haram. Bagi kelompok yang pesismis terhadap wujudnya ilmu pengetahuan Islam, ini tak jauh berbeda dari sekadar menambahkan etika Islam dalam penerapan ilmu pengetahuan modern, atau memberikan tafsir islami terhadap temuan-temuannya - dan bukan rekonstruksi radikal atas ilmu pengetahuan modern. Sardar sendiri menyebutkan bahwa "model ilmu pengetahuan Islam itu masih membutuhkan kerja lebih lanjut yang amat banyak."

Islamisasi Ilmu Sebagai Sebuah Gerakan

Gagasan-gagasan para pemikir yang menganjurkan islamisasi ilmu pengetahuan atau penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islam di atas dapat dikatakan telah mewujud dalam suatu "gerakan". Ini karena meskipun pada awalnya mereka bergerak sebagai individu, belakangan terbentuk berbagai kelompok pemikir, sebagian dengan lembaganya masing-masing, untuk mengembangkan atau bahkan menerapkan gagasan tersebut pada tingkat praktis. Dalam hal ini perbedaan mereka dengan Iqbal, misalnya, tampak jelas jika dilihat bahwa gagasan-gagasan Iqbal - secemerlang apa pun gagasannya, dibandingkan dengan banyak pemikir Muslim kontemporer sekalipun - tinggal sebagai gagasan dan tak terwujud dalam suatu lembaga yang dapat meneruskan cita-citanya.

Syed Hosein Nasr, misalnya, meskipun tak memiliki lembaga formal yang mengembangkan gagasannya, mempunyai banyak murid yang aktif menulis mengembangkan perspektif tradisionalisnya di beberapa negara, seperti Malaysia dan Pakistan . Murid terpenting Nasr adalah Osman Bakar, dari Malaysia . Memperoleh gelar Master dalam bidang matematika ( London ) dan Doktor dalam filsafat Islam ( Temple University ), tema-tema karya Bakar tak jauh berbeda dari Nasr. Karya terpentingnya dalam hal ini adalah Tauhid and Science (Tauhid dan ILmu Pengetahuan, 1991) yang merupakan kumpulan esai tentang sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan Islam. Bakar kini aktif di Fakultas Ilmu pengetahuan, Universiti Malaya.

Ziauddin Sardar dan kelompok Ijmali-nya muncul ke forum intelektual Islam melalui majalah Afkar/Inquiry yang mereka terbitkan. Majalah ini secara amat gencar mengupas satu demi satu bidang-bidang ilmu pengetahuan - di antaranya biologi, masalah lingkungan, juga antropologi - dalam kerangka besar penciptaan peradaban Islam kontemporer. Afkar/Inquiry, yang hanya terbit selama empat tahun (1984-1987), sempat menjadi majalah yang cukup penting dalam menampilkan gagasan-gagasan baru itu. Setelah itu, para penyumbang utamanya lebih banyak menerbitkan buku.

Salah seorang tokoh Ijmali lain di antaranya adalah Munawar Ahmad Anees, seorang doktor di bidang biologi. Kajian-kajian kritisnya tentang biologi modern tak hanya berhenti pada tingkat teoretis, tetapi sudah menukik hingga ke beberapa masalah praktis. Di sini ia juga melihat implikasinya pada fikih Islam. Selain artikel-artikel yang ditulisnya di Afkar/Inquiry, ia telah menulis sebuah buku, Islam and the Biological Futures (Islam dan Masa Depan Biologis). Selain Anees ada Meryl Wynn Davies, yang mencoba menggali nilai-nilai islami untuk diterapkan dalam suatu disiplin antropologi. Buku Davies tentang antropologi Islam yang telah diterbitkan adalah Knowing One Another (Saling Mengenal). Lalu ada pula Parvez Mansoor yang banyak menulis tentang perpektif Islam atas lingkungan dan ilmu politik kontemporer.

Di luar lingkup gerakan kelompok Ijmali, mesti disebut juga sebuah jurnal berbahasa Inggris yang berbasis di Aligarh, India, Journal of Islamic Science (Majalah Ilmu Pengetahuan Islam). Jurnal ini sepenuhnya diperuntukkan bagi pengkajian masalah-masalah di seputar ilmu pengetahuan Islam. Secara umum, posisi jurnal ini mirip dengan posisi Sardar, yang menghendaki reorientasi epistemologis yang radikal. Namun, yang lebih sering muncul di sini adalah kritik terhadap ilmu pengetahuan modern, daripada penggodokan gagasan ilmu pengetahuan Islam sendiri. Jurnal ini tampaknya kurang berdampak dan tak dianggap sebagai jurnal penting di lingkungan akademis.

Pada 1981, al-Faruqi mendirikan sebuah lembaga penelitian khusus untuk mengembangkan gagasan-gagasannya tentang proyek islamisasi, yaitu International Institute of Islamic Thought, IIIT (Lembaga Internasional Untuk Pemikiran Islam) . Mendahului pembentukan IIIT adalah penyelenggaraan konferensi tentang islamisasi ilmu di Swiss pada tahun 1977. Penyelenggaranya adalah Association of Muslim Social Scientists (Perhimpunan Ilmuwan Sosial Muslim), di bawah Muslim Students Association (Perhimpunan Mahasiswa Muslim), sebuah organisasi Islam yang paling berpengaruh di AS, dengan al-Faruqi sebagai salah seorang pendirinya (-> artikel "Minoritas Muslim pada Abad ke-20). Konperensi tentang islamisasi ilmu ini berlanjut dengan konperensi kedua ( Islamabad , 1983), ketiga (Kuala Lumpur, 1984), dan keempat ( Khartoum , 1987). Lembaga ini berbasis di Amerika Serikat, namun kini cabangnya di Malaysia tampak berkembang amat pesat dan lebih mendominasi. Ini terutama disebabkan oleh kuatnya pengaruh IIIT di Universiti Islam Antarbangsa (International Islamic University, IIU) Malaysia .

Dengan dukungan dana yang cukup kuat, lembaga ini hingga kini telah berhasil menerbitkan amat banyak publikasi, dalam bahasa Inggris dan Arab, di samping sebuah jurnal, American Journal of Islamic Social Sciences, AJISS (Majalah Amerika Untuk Ilmu-Ilmu Sosial Islam). Beberapa tahun terakhir ini upaya islamisasi telah diterjemahkan ke dalam berbagai disiplin ilmu yang spesifik, khususnya ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, dan ekonomi.

Upaya penerbitan buku dalam bahasa Inggris dan Arab yang amat gencar itu diikuti dengan penerjemahannya ke beberapa bahasa Islam lain, termasuk bahasa Indonesia . Selain itu, IIIT telah pula mulai menyelenggarakan seminar-seminar regional di beberapa negara Muslim, khususnya di Asia Tenggara, yang menjadi ajang sosialisasi gagasan Islamisasi ilmu dalam berbagai bidangnya.

Di Malaysia, selain IIU yang menjadi basis pengembangan islamisasi ilmu versi IIIT, ada pula International Institute of Islamic Thought and Civilization, ISTAC (Lembaga Internasiona untuk Pemikiran dan Peradaban Islam), yang didirikan pada 1987. ISTAC didirikan sebagai perwujudan gagasan Syed Naquib al-Attas, dan dirancang berdasarkan konsep-konsep yang telah dikemukakan al-Attas belasan tahun sebelum lembaga ini berdiri. ISTAC juga aktif menerbitkan buku dan menarik banyak dosen dan mahasiswa dari berbagai wilayah dunia Islam. Mulai 1996, sebuah jurnal pemikiran Islam, Al-Shajarah, diterbitkan ISTAC.

ISTAC juga menerbitkan banyak buku hasil karya para dosennya, terutama dalam bidang pemikiran Islam. Pada 1996 lembaga ini menerbitkan sebuah buku tentang ilmu pengetahuan Islam (Islamic Science, Towards A Definition [Ilmu Pengetahuan Islam, Menuju Suatu Definisi) karya Alparslan Acikgenc, seorang dosen asal Turki yang belajar di bawah Fazlur Rahman (1919-1988) dan kini mengajar di ISTAC. Buku ini berusaha menjabarkan lebih jauh gagasan al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, dan berupaya mendefinisikan ilmu pengetahuan Islam secara tajam.

Dengan dukungan dana dari pemerintah Malaysia yang cukup kuat - untuk mendatangkan dosen-dosen dari negara-negara Muslim, memperkaya perpustakannya, dan mendanai riset-riset - ISTAC tampaknya masih akan terus mampu mengembangkan gagasan al-Attas, sebagai pendiri dan direkturnya, dalam menciptakan fondasi teoretis bagi proyek islamisasinya. Berbeda dengan IIU, ISTAC lebih menekankan pada pengembangan landasan teoretis yang terutama menyangkut metafisika dan epistemologi ini daripada melakukan upaya islamisasi secara langsung terhadap disiplin-disiplin ilmu.

Ada sebuah fenomena penting lainnya berhubungan dengan hal ini. Jika dapat dipisahkan antara dunia akademis dan aktivisme, maka "gerakan" tersebut bisa dikatakan berlangsung lebih dalam konteks aktivisme Islam - setidaknya dari sudut pandang dunia kajian Islam (Islamic studies) yang berkembang amat pesat di Barat pada abad ke-20 ini. Sardar, meskipun mendapat gelar doktornya di bidang fisika, lebih dikenal sebagai "wartawan" - sebuah sebutan peyoratif di lingkaran akademis. Faruqi pada awalnya memang lebih dikenal sebagai aktivis nasionalis Arab. Sementara Nasr dikenal baik di lingkungan akademis, tetapi lebih sebagai seorang sejarawan ilmu pengetahuan - yang teori-teorinya mengenai ilmu pengetahuan Islam mendapat banyak kritik karena terlalu kental dengan pernyataan-pernyataan apriori tentang sifat ilmu pengetahuan Islam. Di lingkungan akademis Barat, Naquib al-Attas pun tak dikenal sebagai pemrakarsa gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, tetapi lebih sebagai sejarawan dengan spesialisasi sejarah Islam di Kepulauan Melayu.

Akibatnya, hingga kini gagasan-gagasan itu tak banyak dibicarakan di lingkungan akademis di luar dunia Islam. Ini sama sekali tak lalu harus berarti para penggagas ide tersebut tak memberikan sumbangan konseptual dalam wilayah kajian Islam. Tetapi, kepentingan pengembangan gagasan ini memang lebih ditujukan untuk pengembangan masyarakat Muslim, daripada semata-mata untuk kepentingan akademis kajian Islam.

Meskipun demikian, mesti pula dicatat bahwa wacana islamisasi ilmu pengetahuan atau ilmu pengetahuan Islam ini berlangsung terutama dalam bahasa Inggris. (IIIT menerbitkan cukup banyak buku dalam bahasa Arab, namun buku-buku terpentingnya lebih awal terbit dalam bahasa Inggris.) Kenyataan ini menunjukkan satu hal lain: bahwa sebagian amat besar, kalau tidak semua, penggagas ide tersebut pernah mendapatkan pendidikan di "negara-negara sekuler" Amerika atau Eropa, sehingga cukup terekspos dengan nilai-nilai dari apa yang sering mereka sebut "peradaban Barat". Sebuah kenyataan lain yang ditunjukkan oleh fakta ini adalah bahwa gagasan ini merupakan sesuatu yang "baru" dalam sejarah intelektual Islam, sedemikian hingga beberapa terminologi baru dalam bahasa Inggris harus diciptakan, sementara penerjemahannya ke dalam bahasa Arab - yaitu, bahasa intelektual Islam - sering kali terasa ganjil. Penerjemahan "ilmu pengetahuan Islam" atau "islamisasi ilmu" ke dalam bahasa Arab nyatanya menjadi problematis.

Kritik atas Gagasan Islamisasi Ilmu

Di seberang para penggagas ilmu pengetahuan Islam ini tentu saja ada pendirian lain yang bertentangan. Pada umumnya pendirian ini mendapatkan argumen utamanya dengan menolak premis paling penting dalam argumentasi ilmu pengetahuan Islam itu, yaitu, bahwa ilmu pengetahuan tak bebas nilai. Implikasi praktisnya adalah pandangan instrumentalis: bahwa sebagai kumpulan instrumen yang bermanfaat secara praktis (terutama dalam penerjemahannya ke dalam teknologi) ilmu pengetahuan modern dapat dikembangkan dalam lingkungan Islam. Dan ini tak menafikan kemungkinan umat Islam untuk tetap hidup menuruti ajaran Islam, karena, sekali lagi, ilmu pengetahuan adalah alat, bukan tujuan.

Dua gagasan yang serupa dan dapat mewakili spektrum gagasan yang menolak islamisasi ilmu atau ilmu pengetahuan Islam adalah Fazlur Rahman (1919-1988) dan Pervez Hoodbhoy (l. 1950). Rahman adalah sarjana Muslim yang memusatkan kajiannya pada al-Qur'an, sementara Hoodbhoy adalah doktor di bidang fisika nuklir yang mendapatkan gelar doktornya dari MIT. Dari segi kuantitas karyanya dalam lingkup wacana ilmu pengetahuan Islam, keduanya memang tak menonjol. Rahman hanya menulis dua artikel singkat tentang masalah ini (Arabia, 1986, dan AJISS, 1988). Hoodbhoy menulis sebuah entri tentang ilmu pengetahuan dan Islam dalam The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, (Ensiklopedi Oxford tentang Dunia Islam Modern, ed. John Esposito, 1995) dan satu buku, Islam and Science, Religious Orthodoy and the Battle for Rationality (Ortodoksi Keagamaan dan Perjuangan demi Kerasionalan, 1992) - yang sempat memancing polemik sengit di negerinya, Pakistan. Namun pandangan-pandangan mereka cukup mewakili gagasan para penentang islamisasi ilmu.

Yang pertama adalah Fazlur Rahman. Sarjana asal Pakistan yang amat diakui di lingkungan akademis Barat ini pernah secara khusus memberikan tanggapannya terhadap gagasan islamisasi ilmu. Meskipun tanggapan ini tak terlalu rinci dibandingkan dengan apa yang telah berlangsung dalam wacana islamisasi, pandangannya tetap layak diikuti, karena ia mewakili satu arus yang cukup banyak pengikutnya.

Menulis untuk majalah Arabia di awal tahun 1986 ia mengkritik Ziauddin Sardar yang menurutnya sama sekali tak akrab dengan tradisi intelektual Islam masa lampau. Rancangan sistematis al-Faruqi mengenai langkah-langkah islamisasi ilmu dianggapnya terlalu mekanistis. Dan meskipun keduanya mengkritik Barat dengan amat keras, mereka tampaknya justru tak dapat melepaskan diri dari Barat. Sardar mengutip kritik Barat terhadap ilmu pengetahuan Barat, bahkan definisi Barat mengenai ilmu. Sementara Faruqi, dalam urutan langkah-langkah programnya, tampak lebih mementingkan penguasaan ilmu pengetahuan Barat, yang mesti lebih dulu digarap, daripada tradisi Islam sendiri. Nasr dan al-Attas dilihatnya hanya akrab dengan bagian-bagian tertentu dari tradisi intelektual Islam.

Dalam AJISS (1988), terbitan IIIT, ia menuliskan tanggapannya lebih jauh. Dengan tegas Rahman menulis: "Apa pun yang mengekspos sesuatu yang baru pada pikiran adalah ilmu. Ilmu itu sendiri tidaklah buruk tetapi penyalahgunaannya yang buruk." Dan persoalan baik buruk adalah persoalan moral. Sebagai contoh adalah sihir, yang dikutuk oleh al-Qur'an, namun dikategorikan sebagai ilmu.

Dalam sejarah Islam sendiri, para ilmuwan Muslim menyerap amat banyak unsur-unsur baru dari peradaban non-Islam. Di kalangan ilmuwan Muslim, ada banyak temuan yang berkaitan dengan masalah keimanan yang mendasar, dan beberapa di antaranya saling bertentangan. Persoalannya kemudian adalah menguji kesesuaian temuan-temuan itu dengan ajaran al-Qur'an. Bagi Rahman, sebetulnya inilah yang merupakan tugas mendesak. Setelah ini, dengan kriteria yang sama, yaitu al-Qur'an, tradisi intelektual Barat juga harus dinilai. Dan kerja ini bukanlah kerja mekanis. Istilah "islamisasi" bagi Rahman mengesankan sifat mekanis ini. Karena seakan-akan dalam mengahadapi berbagai ilmu yang datang dari Barat - misalnya, teori-teori Durkheim dan Weber - kita akan duduk begitu saja dan mengislamisasikannya. Ini tak mengarah pada penciptaan ilmu yang kreatif.

Jadi, sebetulnya Rahman tak sepenuhnya menentang gagasan ini, namun lebih menentang beberapa varian dari gagasan ini yang memang terkesan bersifat mekanis. Ini, misalnya, tampak dalam program 12 langkah Ismail Faruqi. Sementara gagasan bahwa sebagian tubuh ilmu pengetahuan tak sesuai dengan Islam diakuinya. Tetapi persoalannya juga lalu tak hanya ilmu yang datang dari Barat, namun dalam tradisi Islam sendiri tak tertutup kemungkinan adanya teori-teori yang tak sesuai dengan Islam.

Satu hal yang tampaknya lebih penting dari respon Rahman ini adalah bahwa ia telah membawa persoalan yang sebelumnya hanya dibicarakan dalam konteks "aktivisme Islam" itu ke dalam kerangka perdebatan teoretis yang lebih besar. Yaitu, tentang bagaimana seharusnya Muslim menciptakan teori-teori dan sistem-sistem yang diturunkan dari al-Qur'an secara absah. Termasuk di sini adalah penciptaan kriteria untuk menilai sejauh mana keislaman tradisi Islam sendiri. Ini adalah persoalan metodologi membaca al-Qur'an dalam konteks pemecahan masalah-masalah riil yang dihadapi Muslim. Dan memang inilah obsesi terpenting Rahman yang tampak dalam karya-karya utamanya.

Kritik Pervez Hoodbhoy bertumpu pada pandangan instrumentalis yang sama dengan Rahman, dengan keyakinan akan netralitas ilmu pengetahuan sebagai landasannya. Serupa juga dengan Rahman, ia sebenarnya lebih mengarahkan kritiknya pada beberapa varian dalam wacana islamisasi ilmu, yang terutama diwakili oleh Faruqi dan Sardar. Di beberapa tempat lain, gagasan "ilmu pengetahuan Islam" yang dikritiknya pun sebetulnya terbatas pada upaya seperti yang dilakukan Maurice Bucaille - yang oleh Sardar pun dikritik amat keras.

Hoodbhoy mempertanyakan kebermaknaan istilah "ilmu pengetahuan Islam" sendiri. Menurutnya, harus dilakukan pembedaa antara ilmu pengetahuan yang dipraktikkan Muslim - saat ini maupun di zaman keemasan Islam - dengan konsep "ilmu pengetahuan Islam" yang dianggap secara khusus mencerminkan karakter Islam. Konsep "ilmu pengetahuan Islam" dapat dinafikan kebermaknaannya setidaknya dengan tiga alasan.

Pertama, bahwa setelah beberapa dasawarsa dibincangkan, hingga kini belum ada yang bisa disebut ilmu pengetahuan Islam, dan tak ada satu pun instrumen yang diciptakan atau eksperimen yang berhasil dibuktikan oleh upaya ini. Kedua, bahwa ilmu pengetahuan tak pernah dibangun atas dasar seperangkat keyakinan. Apapun keyakinan - filosofis ataupun religius - seorang ilmuwan, teori ilmu pengetahuan akhirnya harus dibuktikan dengan prosedur normal ilmu pengetahuan, yaitu, percobaan dan pengujian. Terakhir, hingga kini belum tercapai kesepakatan tentang apa yang dimaksud "ilmu pengetahuan Islam". Yang ada adalah polemik tak berkesudahan selama puluhan tahun terakhir.

Di samping itu, Hoodbhoy juga mengajukan data-data historis bahwa, ketika masalah keyakinan religius dibawa-bawa dalam praktek ilmu pengetahuan, maka yang kerap terjadi adalah eksekusi ilmuwan oleh kaum agamawan ortodoks. Para penggagas ilmu pengetahuan Islam dan islamisasi dipandangnya sebagai mewakili kaum ortodoks zaman ini, yang dikhawatirkan justru menghambat perkembangan ilmu pengetahuan, sebagaimana telah terjadi dalam sejarah Kristen maupun sejarah Islam yang lebih awal.

Agenda Hoodbhoy jelas: bagaimana memperkuat infrastruktur di negara-negara Muslim agar riset dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maju pesat. Pembicaraan teoretis tentang suatu ilmu pengetahuan yang didasari oleh nilai-nilai Islam adalah pembicaraan yang salah arah, dan justru mengalihkan perhatian Muslim dari agenda yang sesungguhnya.

Bagi para pendukung islamisasi ilmu atau ilmu pengetahuan Islam, argumen-argumen Hoodbhoy mungkin dapat dijawab dengan mudah. Gagasan para pendukung alih ilmu pengetahuan dan teknologi Barat yang mayoritas berpandangan instrumentalis mungkin juga mudah dipahami. Namun, hingga waktu yang cukup lama, penerimaan yang luas atas gagasan mereka memang tampaknya akhirnya bergantung pada sejauh mana gagasan-gagasan abstrak tentang ilmu pengetahuan Islam dapat juga menjawab masalah praktis dan mendesak yang tampak menyolok di depan mata: ketertinggalan Muslim. Jika didesak hingga ke titik ini, rata-rata jawaban mereka adalah bahwa situasi saat ini, yaitu keadaan terlanjurnya umat Islam hidup dalam lingkungan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, memang tak dapat dihindari. Sebelum konsep komprehensif tentang ilmu pengetahuan Islam terumuskan dengan baik, maka yang bisa dilakukan adalah memperkecil dampaknya, dengan cara menggunakan etika sebagai kriteria pemilihan unit-unit ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan dikembangkan.

Kecenderungan Wacana Islam dan Ilmu Pengetahuan di Indonesia

Di Indonesia, pembicaraan tentang Islam dan ilmu pengetahuan tampak sejalan dengan - dan, sebagian besarnya, mengikuti - apa yang berkembang di kalangan pemikir Muslim dunia umumnya. Hingga dasawarsa 1980-an, tulisan-tulisan tentang Islam dan ilmu pengetahuan, yang amat langka, terutama berkaitan dengan sumbangan Islam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern, sejarah tokoh-tokoh ilmuwan Muslim di masa kejayaan Islam, ataupun kesejajaran ajaran Islam dengan temuan ilmu pengetahuan mutakhir. Di sini kita bisa menyebut, misalnya, karya S.I. Poeradisastra yang paling menonjol, Sumbangan Islam untuk Ilmu Pengetahuan (1981) dan beberapa buku Soedewo P.K. yang menulis tentang teori-teori mutakhir ilmu pengetahuan dan kesesuaiannya dengan tauhid dan al-Quran. Di masanya, pada tahun 1960-an, karya-karya Soedewo dapat dikatakan maju. Mungkin karena Soedewo berasal dari lingkungan Ahmadiyah, ia menjadi tak cukup menonjol, bukunya juga tak tersebar luas.

Diskursus tentang masalah ini tampak lebih menonjol ketika kecenderungan wacana "islamisasi ilmu" berkembang di luar. Dimulai pada sekitar pertengahan tahun 1980-an, pembicaraan tentang islamisasi ilmu cukup mendominasi dan mencapai klimaksnya pada akhir dasawarsa itu.
Salah satu seminar pertama yang cukup berarti untuk dapat dikatakan menandai munculnya wacana islamisasi ilmu adalah "Diskusi Panel Epistemologi Islam", di Masjid Istiqlal, 23 November 1985 . Seperti tampak dalam makalah-makalahnya, kata "epistemologi" dalam tema diskusi panel tersebut tampaknya dipahami lebih dalam kaitannya dengan upaya penciptaan suatu ilmu pengetahuan islami daripada sebagai suatu bagian dari pengkajian filsafat pada umumnya. Varian pandangan yang muncul dalam diskusi itu pun berada dalam kerangka wacana islamisasi ilmu yang telah berkembang di luar.

Pandangan yang kontra, misalnya, muncul dari Harun Nasution, yang menulis makalah berjudul "Etika Ilmu pengetahuan dalam Islam". Inilah sebuah tema penting dalam wacana islamisasi ilmu, yang kerap diajukan sebagai alternatif dari upaya mengislamkan ilmu pengetahuan. Kalimat pertama dalam makalah Harun Nasution adalah penjelasan posisinya secara amat tegas, bahwa tak ada yang dinamakan epistemologi Islam, karena ilmu pengetahuan adalah netral. Yang penting dicatat di sini, untuk menunjukkan bahwa diskusi itu ada dalam wacana islamisasi ilmu, adalah kalimat berikutnya yang menyatakan ketakpercayaan pada gagasan al-Faruqi tentang islamisasi ilmu-ilmu.
Sementara itu, makalah-makalah A.M. Saefuddin, Armahedi Mahzar, Miska M. Amien, dan Jalaluddin Rakhmat, berusaha menggali unsur-unsur epistemologi Islam dengan visi penciptaan suatu ilmu pengetahuan islami. Unsur-unsur tersebut, antara lain, adalah prinsip-prinsip metafisis yang menjadi pra-anggapan ilmu pengetahuan, cara memperoleh ilmu, sumber-sumber ilmu, dan tujuan pencarian ilmu.
Selain dalam banyak seminar, hingga pada akhir dasawarsa 1980-an, isu islamisasi ilmu amat sering muncul dalam beberapa jurnal keislaman. Yang penting dicatat di sini adalah Ulumul Qur'an, yang pada edisi-edisi awalnya sempat menurunkan isu ini sebagai tema utamanya. Pada saat yang sama, dalam ruang lingkup yang lebih kecil, buletin 24-halaman Salman, yang diterbitkan oleh sekelompok mahasiswa di masjid Salman-ITB, sempat secara amat gencar membahas isu ini. Sementara dalam Ulumul Qur'an spektrum pro-kontra mengenai gagasan ini terwakili, Salman tampak hanya mewakili gagasan-gagasan yang muncul dalam Afkar-Inquiry (yaitu, "kelompok Ijmali"). Ulumul Qur'an, diterbitkan oleh Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), mencerminkan hangatnya perdebatan mengenai isu ini, hingga setidaknya tahun 1993. Sebagai jurnal kajian Islam dengan tiras terbesar, Ulumul Qur'an dapat dikatakan mewakili arus utama perbincangan intelektual Muslim. LSAF sendiri cukup banyak mensponsori berbagai diskusi, termasuk "Diskusi Panel Epistemologi Islam" di atas. Beberapa penulis yang muncul di UQ sempat mengemukakan pandangannya yang cukup komprehensif seperti, misalnya, Hana Djumhana Bustaman, yang mengembangkan psikologi islami.
Buku-buku yang diterbitkan mengenai isu ini di Indonesia , nyaris semuanya merupakan terjemahan. Dan hampir semua buku utama dari berbagai varian pandangan telah diterjemahkan. Dari penulis Indonesia sendiri, hanya sedikit nama yang dapat disebutkan. Sebagian besar dari mereka menulis di jurnal atau majalah keislaman, dan hanya amat sedikit yang menulis buku khusus mengenai masalah ini.
Di antara yang sedikit ini, Ahmad Baiquni menulis Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern (1983). Pandangan Baiquni - seorang fisikawan - mirip dengan Abdus Salam. Bagi Baiquni, berbicara tentang Islam dan ilmu pengetahuan berarti menunjukkan kesesuaian ayat-ayat al-Qur'an dengan temuan ilmu pengetahuan kontemporer. Ia, di antaranya, menunjukkan bahwa pandangan mutakhir tentang alam semesta yang memuai telah diisyaratkan dalam al-Qur'an.
Tokoh-tokoh lain yang dapat disebut di sini adalah Jalaluddin Rakhmat, Dawam Rahardjo, dan Armahedi Mahzar. Keakraban Rakhmat dengan metodologi penelitian membuahkan beberapa artikel yang konsisten (dimuat sebagai salah satu bab dalam bukunya Islam Alternatif) tentang Islam dan ilmu pengetahuan. Ia menekankan pada proses pencarian ilmu - mulai dari pilihan isu hingga penerapannya. Dalam setiap tahap proses itu, ajaran Islam - sebagai pranggapan metafisis maupun pertimbangan etis - dapat ambil bagian. Hasil dari proses pencarian ilmu yang tiap tahapnya diwarnai Islam ini adalah ilmu yang islami.
Sementara itu, Armahedi Mahzar jauh sebelumnya telah dikenal lewat bukunya Integralisme. Dengan apa yang disebutnya sebagai "pendekatan integralis", Armahedi berusaha menunjukkan lapis-lapis struktur ilmu pengetahuan dan di mana Islam dapat masuk untuk mewarnai lapis-lapis itu. Dengan latar belakang fisikanya, ia juga kerap menunjukkan kesesuaian temuan ilmu pengetahuan kontemporer dengan pandangan Islam di tingkat metafisika. Ini sejalan dengan munculnya literatur-literatur ilmu pengetahuan kontemporer yang diilhami oleh pengamatan akan adanya kesejajaran temuan ilmu pengetahuan, khususnya fisika, dengan pandangan tradisional (termasuk agama) yang holistis tentang alam semesta.
Populernya mazhab tradisionalisme (perenialisme) yang digagas Syed Hossein Nasr dan kawan-kawan di Indonesia pada sekitar 1994 dan 1995 ikut mewarnai wacana tentang Islam dan ilmu pengetahuan. Di sini yang banyak dibincangkan adalah pandangan holistis tentang alam semesta.
Setelah perbincangan tentang tema ini tampak melemah selama beberapa tahun di awal 1990-an, pada Agustus 1994 diadakan seminar internasional tentang Islam dan ilmu pengetahuan di IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung dengan sponsor Lembaga Mukjizat Al-Qur'an, yang berada di bawah Rabithah 'Alam Islami (Liga Dunia Islam), yang berpusat di Mekah. Sesuai dengan nama lembaga sponsor itu, penekanan seminar itu adalah pada pengungkapan kesesuaian temuan ilmu pengetahuan modern dengan ayat-ayat Al-Qur'an, yang dianggap sebagai mukjizat.
Lalu, pada Juni 1996, bersama dengan lembaga itu dan IIIT, B.J. Habibie (l. 1936) - sebagai ketua ICMI yang giat mengembangkan teknologi tinggi di Indonesia - melakukan penandatangan kesepakatan pembentukan forum bersama untuk ilmu pengetahuan, teknologi, dan sumberdaya manusia di depan Ka'bah, Mekah. Forum yang bernama International Islamic Forum for Science, Technology and Human Resources Development, (IFTIHAR, Forum Islam Antarbangsa untuk Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Sumber Daya Manusia) itu pada 6-8 Desember 1996 mengadakan konferensi pertamanya di Jakarta . Konferensi yang diikuti 400 peserta dari 50 negara itu menunjuk Habibie sebagai ketuanya, dan melahirkan rancangan aksi yang disebut Deklarasi Jakarta. Terselenggaranya konperensi ini sendiri tak bisa dilepaskan dari figur Habibie - sebagai ketua ICMI dan Menteri Riset dan Teknologi - yang melahirkan slogan "iptek dan imtak" (ilmu pengetahuan dan teknologi, dan iman dan takwa)".
Majalah Islam yang berbasis di London Impact International menjadikan peristiwa ini sebagai laporan utamanya, dengan judul "Science and The Muslim World, Breaking the Self-Exile" (Januari 1997). Seperti ditulis di situ, dari segi jumlah dan keragaman pesertanya, konferensi ini bisa disejajarkan dengan Konferensi Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam di Mekah pada 1977. Masih dibutuhkan beberapa waktu sebelum arah dan efektivitas forum ini bisa dinilai. Namun melihat isi rancangan aksi tersebut dan dipilihnya Habibie sebagai ketua, telah tampak bahwa forum ini akan lebih pragmatis, dan mengikuti gagasan Abdus Salam dalam melakukan pemerataan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Islam daripada terlibat dalam pembicaraan teoretis tentang pembentukan ilmu-ilmu Islami.
Dua minggu setelah konferensi internasional itu (23-24 Desember), di Universitas Islam '45 (Unisma), Bekasi, dalam lingkup yang lebih kecil diadakan seminar internasional lain bertema islamisasi ilmu. Seminar ini merupakan bagian dari rangkaian "The South-East Asian Region Seminars on the Islamization of Knowledge" dengan fokus Indonesia , yang diadakan IIIT untuk memasyarakatkan gagasan islamisasi ilmu versi lembaga itu. Banyak buku terbitan IIIT juga telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia . Sementara dari pihak Indonesia , penyelenggara seminar itu adalah M. Dawam Rahardjo, sebagai Rektor Unisma dan Ketua LSAF. Sejak awal berdirinya, Dawam juga menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Ulumul Qur'an.
Satu hal penting yang dapat disimpulkan dari seluruh perkembangan ini adalah bahwa kecenderungan wacana tentang Islam dan ilmu pengetahuan di Indonesia dapat dikatakan merupakan miniatur dari wacana serupa yang muncul di luar. Ini berkaitan baik dengan tahap-tahap perkembangan wacana itu, maupun dengan adanya spektrum pandangan-pandangan yang semuanya mendapatkan wakilnya di sini.
Penulis: Zainal Abidin Bagir ( 19/05/1997 )
Editor: J. H. Meuleman ( 05/09/1997 )
Input koreksi dari TA ( 17/07/1998 )
DAFTAR PUSTAKA
Abaza, Mona, Some Reflections on The Question of Islam and Social Sciences in the Contemporary Muslim World, Social Compass, vol.2, No.40, 1993, hlm. 301-321.
Acikgenc, Alparslan, Islamic Science, Towards A Definition, International Institute of Islamic Thought and Civilization, Kuala Lumpur , 1996.
Anees, Munawar Ahmad, Islam and the Biological Futures, Ethics, Gender and Technology, Mansell. London , 1989 (terj. Islam dan Masa Depan Biologis, Penerbit Mizan, 1991).
Al-Attas, Syed M. Naquib, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, International Institute of Islamic Thought and Civilization, Kuala Lumpur, 1995. (Bab berjudul "Islam and Philosophy of Science" telah diterjemahkan: Islam dan Filsafat Sains, Penerbit Mizan, 1995).
________, Islam, Secularism, and The Philosophy of the Future, Mansell, London , 1985 (pertama kali terbit pada 1978, terj. Islam dan Sekularisme, Pustaka Salman, 1981).
Baiquni, Ahmad, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, Pustaka Salman.
Bakar, Osman, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science, Nurin Enterprise, Kuala Lumpur , 1991. (terj. Tauhid dan Sains, Pustaka Hidayah, 1994).
Barzinji, Jamal, History of the Islamization of Knowledge, makalah pada International Seminar-Workshop on Islamization of Knowledge", Universitas Islam '45, Bekasi, 23-24 Desember 1996.
Bucaille, Maurice, La Bible, le Coran et la science. Les ecritures saintes examinèès á la lumiére des connaissances modernes. Segher, Paris, 1976.
Davies, Meryl Wynn, Knowing One Another, Toward an Islamic Anthropology, Mansell, London , 1988.
al-Faruqi, Islamization of Knowledge, International Institute of Islamic Thought, Washington D.C. , 1982. (terj. Islamisasi Pengetahuan, Pustaka Salman, 1984).
Faruqi, M.H., Science and The Muslim World, Breaking the Self-Exile, Impact International, Januari 1997.
Ghulsyani, Mahdi, The Holy Qur'an and the Sciences of Nature, Islamic Propagation Organization, Tehran , 1986. (terj. Filsafat Sains Menurut Al-Quran, Mizan, Bandung , 1988.
al-Hassan, Ahmad Y., dan Donald R. Hill, Islamic Technology: an Illustrated History, Unesco dan The Press Syndicate of the University of Cambridge , Cambridge , 1986 (terj. Teknologi dalam Sejarah Islam, Penerbit Mizan, 1993)
Hoodbhoy, Pervez, "Science", The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, ed. John Esposito, vol.4, Oxford University Press, hlm. 13-18.
________________, Islam and Science, Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality, S. Abdul Majeed & Co., Kuala Lumpur , 1992 (terj. Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas, Penerbit Mizan, 1996).
Iqbal, Muhammad, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Edisi baru dan dengan anotasi), Institute of Islamic Culture , Lahore , 1986 (pertama kali terbit pada 1930. terj. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, Tintamas, Jakarta , 1966).
Iqbal, Muhammad, A Plea for Deeper Study of Muslim Scientists, Islamic Culture, vol. III, April 1929, hlm. 201-209.
Keddie, N.R., An Islamic Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamaluddin al-Afghani, University of California Press , 1983.
Mahdi, Muhsin, Religious Belief and Scientific Belief, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol. 11, No.2, 1994, hlm. 245-259.
Makalah-Makalah pada Diskusi Panel Epistemologi Islam, Masjid Istiqlal, Jakarta , 23 November 1985 .
Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam, Harvard University Press, Cambridge , 1968. (terj. Sains dan Peradaban dalam Islam, Pustaka Salman, 1986.
______, The Need for Sacred Science, State University of New York Press, 1993.
Poeradisastra, S.I., Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern, Girimukti Pasaka, 1981.
Rahman, Fazlur, Islamization of Knowledge: A Response, The American Journal of Islamic Social Science, 1(5), 1988.
_____. Islam: A Year of Steady Development, Arabia , Januari 1986.
Rajaee, Farhang, Islam and Modernity: The Reconstruction of an Alternative Shi'ite Islamic Worldview in Iran, Fundamentalisms and Society, Reclaiming the Sciences, the Family, and Education, (Fundamentalisms Project vol.2) ed. Martin E. Marty and R. Scott Appleby, University of Chicago Press, Chicago & London, 1993, hlm. 103-125.
Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, Penerbit Mizan, Bandung , 1986
Sabra, A.I., The Appropriation and Subsequent Naturalization of Greek Science in Medieval Islam: A Preliminary Survey, History of Science, vol. 25, 1987, hlm. 1-21.
Saefuddin, A.M., Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, Penerbit Mizan, Bandung , 1987.
Salam, Abdus, The Future of Science in Islamic Countries, makalah untuk Islamic Summit, Kuwait, 1987.
______, Ideal and Realities, Selected Essays, Scientific Publishing Co., 1984.
Sardar, Ziauddin, Exploration in Islamic Science, Mansell, London & New York , 1989.
______, Science, Technology and Development in the Muslim World, Croom Helm, London , 1977.
Sarton, George, Introduction to the History of Sciences, 3 jilid, The Williams & Wilkins Company, Baltimore, 1927-48.
Sayili, Aydin, The Causes of the Decline of Scientific Work in Islam, Appendix II dari The Observatory in Islam, and Its Place in the General History of Observatory, Turk Tarik Kurumu, Basimevi, Ankara, 1988.
Sezgin, Fuat, Geschichte des Arabischen Schrifftums, E.J. Brill, Leiden , 1967.
Tibi, Bassam, The Worldview of Sunni Arab Fundamentalists: Attitudes toward Modern Science and Technology, Fundamentalisms and Society, Reclaiming the Sciences, the Family, and Education, (Fundamentalisms Project vol.2) ed. Martin E. Marty and R. Scott Appleby, University of Chicago Press, Chicago & London, 1993, hlm. 73-102.
Tulisan ini diambil dari :
http://www.crcs.ugm.ac.id/staffile/zab/entri_ensiklopedi_tematis_dunia_islam.htm